Beberapa ingin mengendalikan situasi, sementar yang lain cenderung melihat diri mereka sebagai korban, mengklaim semuanya di luar kendali mereka dan menutup diri.
Pola kegagalan kita dapat berfungsi untuk melindungi kita saat ini. Namun pada akhirnya, pola tersebut dapat menghambat kemampuan kita untuk beradaptasi dan merespons dengan cara yang dibutuhkan oleh situasi baru.Â
Seringkali, kita menyadari ini terjadi hanya setelah interaksi di mana pola kegagalan kita telah menyebabkan gesekan dalam suatu hubungan. Kondisi ini bisa menjadi peluang yang terlewatkan untuk mengambil pendekatan proaktif terhadap situasi tersebut.
Semua itu kita lakukan berdasarkan pola pikir dan keyakinan yang kita pegang, seringkali secara tidak sadar, yang memengaruhi cara kita memandang realitas dan membuat kita kurang fleksibel dan mudah beradaptasi dengan keadaan yang berubah.Â
Namun, jika kita dapat mengenali bahwa kita beralih ke pola pikir kegagalan dalam situasi stress (biasanya dengan sinyal tubuh seperti telapak tangan berkeringat atau reaksi fisik lainnya terhadap ancaman yang dirasakan).
Tidaklah mendorong diri kita untuk melihat berbagai perspektif, tetapi kita malah pindah ke dunia yang menawarkan lebih banyak kemungkinan. .
Pola pikir status quo mungkin sangat masuk akal dalam beberapa situasi rutin (atau stres rendah), namun kurang berguna ketika keadaan menjadi lebih kompleks dan kita berada di bawah tekanan yang lebih besar.Â
Agar menjadi optimal, para pemimpin dan organisasi harus segera beralih ke pola pikir pembelajaran yang dapat beradaptasi.
Bagi para pemimpin, salah satu musuh dari pola pikir adaptif adalah keyakinan bahwa adalah tugas mereka untuk memiliki "jawaban yang benar" daripada mengetahui kapan harus mengajukan pertanyaan yang tepat.Â
Kondisi tersebut pada dasarnya adalah jebakan agar kita tidak terlihat jatuh, sehingga mendesak para praktisi untuk mengadopsi apa yang disebut sebagai pikiran pemula. "Dalam pikiran pemula, ada banyak kemungkinan,", sementara "Dalam pikiran ahli, hanya ada sedikit."