Waktu kecil, banyak dari orang tua berpesan pada anaknya "Belajarlah setinggi mungkin agar dapat pekerjaan yang baik." Namun, sekarang  nyatanya dalam dunia kerja saat ini, nasihat itu tampaknya sudah mulai kehilangan makna. Gelar akademik yang dulu dianggap simbol kesuksesan kini, tidak lagi menjadi jaminan seseorang memiliki keterampilan apalagi menjamin produktivitas kerja.
DIREKTUR Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan. Darmawansyah menyoroti, tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi yang disebabkan oleh mismatch antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri. Dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk "Meningkatnya Angka Pengangguran Sarjana yang Mengkhawatirkan" Rabu, (9/7/2025), ia menjelaskan bahwa banyak lulusan universitas tidak terserap, karena keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang nyata antara dunia pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja yang terus berubah cepat di era digital.Â
Dalam perspektif sosiologi, pendidikan berfungsi sebagai sarana utama pembentukan modal manusia (human capital) yaitu kemampuan, keahlian, dan etos kerja yang meningkatkan produktivitas individu serta menopang pembangunan ekonomi (M. Yusuf & S. Hanani, 2025). Namun dalam realitas praktiknya, sistem pendidikan Indonesia masih lebih fokus pada teori dibanding penerapan keterampilan nyata yang relevan dengan dunia industri.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk. (2025) dalam Jurnal Pendidikan Teknik Sipil menunjukkan bahwa lulusan SMK di Indonesia baru mencapai tingkat kesiapan kerja yang "moderat" dan belum sepenuhnya memenuhi standar industri. Terdapat perbedaan signifikan antara persepsi siswa dan penilaian industri. Dimana siswa merasa telah siap bekerja, tetapi industri menilai sebaliknya.
Temuan ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian antara kurikulum sekolah dan kebutuhan industri 5.0, di mana kolaborasi antara manusia dan teknologi menjadi kunci. Dunia kerja saat ini menuntut lebih dari sekadar ijazah; yang dibutuhkan adalah kemampuan berpikir kritis, beradaptasi dengan cepat, dan menyelesaikan masalah secara kreatif.
Kualitas pendidikan memiliki korelasi langsung dengan produktivitas tenaga kerja. Sebab pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat dipisahkan dari peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Negara yang memiliki tenaga kerja terampil dan berinovasi akan lebih mampu bersaing secara global, sedangkan negara dengan SDM lemah hanya akan menjadi pengguna, bukan pencipta teknologi. Sayangnya, fenomena job mismatch masih menjadi penghambat utama. Berdasarkan riset Populix (2023), lebih dari 60% perusahaan di Indonesia mengalami kesulitan menemukan calon karyawan dengan keahlian yang sesuai kebutuhan. Sementara laporan MUM.ID (2024) menunjukkan banyak lulusan muda bekerja di posisi yang tidak sejalan dengan latar belakang pendidikannya. Realitas ini menimbulkan paradoks: yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang, belum tentu semakin besar pula kontribusinya terhadap produktivitas ekonomi. Gelar akademik kerap dijadikan simbol status sosial, bukannya indikator kemampuan. Dalam teori sosiologi pendidikan, fenomena ini disebut credentialism yaitu ketika nilai ijazah lebih dihargai daripada kemampuan nyata.
Lalu bagaimana jika anggaran Pendidikan ditingkatkan apakah dapat menjamin lulusan yang siap kerja di dunia industri? peningkatan anggaran pendidikan tidak akan bermakna tanpa diikuti efisiensi sistemnya. Pendidikan yang efektif harus mampu menghasilkan lulusan yang kompeten, kreatif, dan siap kerja. Hal ini sejalan dengan Penelitian Hoda Abd El Hamid Ali (2022). Yang mana apabila efisiensi sistem dapat tercapai maka pembangunan ekonomi tidak hanya bertumpu pada modal finansial, tetapi juga pada modal manusia. Yaitu berupa ilmu pengetahuan, keterampilan, dan inovasi. Namun, memang kondisi Indonesia saat ini memperlihatkan bahwa investasi pendidikan belum sepenuhnya diimbangi dengan reformasi kurikulum yang menekankan kompetensi praktis dan keterampilan- keterampilan yang dibutuhkan pada abad ke-21 ini seperti kolaborasi, komunikasi, dan literasi digital.
Tantangan dunia pendidikan saat ini bukan lagi sekadar mencetak banyak lulusan, tetapi memastikan bahwa mereka relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Institusi pendidikan harus beralih dari peran "pabrik ijazah" menuju pusat pengembangan kompetensi yang nyata. Kolaborasi antara kampus, Sekolah, lembaga vokasi, dan industri menjadi keharusan yang mutlak, mulai dari perancangan kurikulum berbasis kebutuhan pasar hingga penerapan metode project-based learning. Pemerintah pun perlu mendorong program reskilling dan upskilling agar tenaga kerja tetap adaptif menghadapi disrupsi teknologi.
Sebagai calon pendidik, kita punya tanggung jawab untuk mencetak generasi yang tidak hanya berijazah, tetapi juga berdaya guna. Pendidikan sejatinya harus melahirkan individu yang produktif, inovatif, dan mampu menciptakan nilai bagi masyarakat. Sebab di era ekonomi berbasis pengetahuan, yang menentukan masa depan bukan lagi gelar di atas kertas, melainkan keterampilan yang melekat dalam diri.
Referensi :
Ali, H. A. E. H & Hajar, M. (2022). The Relationship between Efficiency of Education and Economic Development. The Business and Management Review.