Dulu, keluarga kami bergantung penuh pada layanan PDAM di kabupaten. Maklum, di tempat kami hampir tidak ada sumber air alami. Sumur galian jarang berhasil, dan sungai pun jauh dari rumah.
Pilihan yang paling masuk akal pada waktu itu hanyalah mendaftar sebagai pelanggan PDAM. Namun, pilihan itu bukan berarti tanpa masalah.
Yang paling menyakitkan justru terjadi pada musim kemarau. Ketika kebutuhan air sedang sangat tinggi, PDAM seringkali tidak mengalir. Pipa tetap terpasang, tagihan tetap datang, tetapi air tidak menetes setetes pun.
Ironisnya, pada musim hujan, air justru melimpah ruah. Talang-talang rumah tetangga seperti air terjun mini, mengalir deras, tetapi tidak ada sistem yang benar-benar dimanfaatkan.
Padahal, justru pada musim kemarau banyak orang jatuh sakit karena kekurangan air bersih.
Biaya untuk memasang sambungan PDAM pun tidak kecil. Katanya, pemasangan PDAM itu gratis. Namun, pada kenyataannya, ketika warga mendaftar, mereka harus mengeluarkan biaya hingga beberapa juta rupiah.
Bagi keluarga sederhana seperti kami, jumlah itu sangat besar. Dan itu baru awal. Setelah pemasangan selesai, setiap bulan ada tagihan air yang nilainya bisa menembus jutaan rupiah. Rasanya mustahil untuk menanggung beban sebesar itu.
Kalau ada keluhan, memang petugas PDAM datang. Tapi penyelesaiannya pun aneh. Ganti rugi tidak pernah diberikan dalam bentuk uang tunai. Mereka hanya memberi potongan pada tagihan berikutnya.
Bayangkan, air tidak mengalir sebulan penuh, tetapi kompensasinya hanya berupa "pengurangan pemakaian" di kertas tagihan. Padahal kenyataannya, kami tetap harus mencari air dengan cara lain.
Ada satu informasi lain lagi yang membuat saya bergidik. Katanya, air itu ditampung di bagian hilir kampung, berjarak beberapa puluh kilometer dari kota, dan konon daerah tersebut banyak tercemar kotoran manusia
Akhirnya, saya mengambil keputusan besar: memutus sambungan PDAM. Daripada membayar mahal tetapi hasilnya tidak menentu, lebih baik berusaha mandiri. Belum berpotensi terkena bakteri E-Colli dan Salmonela.