Kalau melihat geliat penjual kopi pinggir jalan di pagi hari, ada dua sisi menarik yang patut direnungkan. Pertama, mereka membuka lapangan kerja baru sekaligus menjadi bagian penting dari denyut ekonomi rakyat.
Bayangkan, di tengah hiruk-pikuk kota yang terus berlari, keberadaan warung kopi sederhana atau gerobak kecil di sudut jalan menjadi penopang kehidupan banyak keluarga.
Mereka mungkin bukan pengusaha besar, tetapi kontribusinya nyata: menciptakan pekerjaan, menggerakkan roda ekonomi mikro, dan menyediakan layanan yang dibutuhkan masyarakat.
Tidak semua orang bisa atau sempat menyiapkan kopi di rumah sebelum berangkat kerja. Waktu pagi sering kali terasa sempit, apalagi bagi mereka yang harus mengejar bus, kereta, atau menghadapi kemacetan panjang.
Dalam situasi seperti itu, kios kopi pinggir jalan hadir sebagai oase sederhana untuk memulai hari. Sambil menunggu kendaraan umum atau sebelum masuk kantor, secangkir kopi panas menjadi pengantar yang hangat, seolah berkata: "Tenang saja, hari ini bisa dijalani."
Kedua, soal rasa kopi itu sendiri. Sering kali, kopi pinggir jalan punya nuansa berbeda dibanding kopi buatan rumah atau kafe modern. Bukan semata-mata karena takaran gula atau kualitas biji, melainkan karena atmosfer yang melingkupinya.
Ada interaksi singkat dengan penjual; sekadar senyum, sapaan, atau obrolan singkat tentang harga BBM dan cuaca hari ini, yang menambah cita rasa tersendiri.
Kadang, obrolan ringan dengan sesama pembeli juga menciptakan suasana kebersamaan yang tidak bisa digantikan oleh mesin kopi canggih di rumah.
Kopi bukan hanya cairan hitam dengan kafein, melainkan pengalaman sosial yang mengikat manusia.
Lalu, kalau ditanya lebih enak mana: ngopi di rumah atau di pinggir jalan? Jawabannya tentu relatif. Kopi di rumah jelas lebih higienis, sesuai selera racikan pribadi, dan tentu lebih hemat.