Ruang Tamu Sunyi Senyap Sore Ini. Aku duduk terdiam sedang adikku sedang terisak menangis. Â Ayah sedang merokok sambil pura-pura menonton televisi yang tak kedengaran suaranya.
"sapa yang ambil uang dari sa pun saku", kata wanita paruh baya, ibuku. Ia geram. Ia bergerak menuju pohon asam di samping rumah. beberapa menit kemudian ia masuk sambil membawa ranting asam.
"berdiri satu kaki, tangan direntangkan", katanya membentak. "tadi sa taru uang sepuluh ribu di saku baju tapi sekarang su tida ada lagi. Kamu dua yang ambil to?"
"sonde mama", jawabku memelas.
"lu bilang apa? Sonde? Lu pikir saya anak kecil lu jawab begitu," keringat mulai bercucuran dari wajahnya.
Plaakkkk. Rotan asam mengiris betisku yang kecil. Aku menangis meski tidak bersuara.
Ibuku. Ia suka marah. Apapun yang terjadi di rumah, jika tak sekehendaknya, maka kami harus siap menutup telinga.
"mama cek baik-baik dulu sapa tahu ada simpan salah," kata ayahku menenangkan situasi. Rumah kami hening sejak tadi. Ayah hanya menghela napas panjang sejak tadi. Entah apa yang dipikirkannya. Biasanya ia lebih banyak diam saat ibu mulai marah.
"sa su cek smua tempat tapi tida ada. Kalo kau tida percaya coba kau cek to".
"kamu dua yang ambil to," kembali ia melihat ke arah kami.
"mama sa tida ambil. Sa dartadi tidur. Sa baru bangun ni. Sa tida terima mama mara saya ni," adikku menangis sejadi-jadinya. Mungkin ia benar, atau barangkali itu tangisan pengelakan. Tang pastinya, kalau sudah menangis, ia berlari ke dalam kamar dan tidak keluar lagi. Tinggal aku seorang diri berdiri satu kaki di hadapan ibuku.