Mohon tunggu...
Meli Yani Dahlia
Meli Yani Dahlia Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Halo! Selamat datang di sudut kecil dunia saya. Seorang penulis pemula yang sedang memulai perjalanan dalam dunia menulis. Website ini adalah tempat saya berbagi cerita, ide, dan pengalaman sambil terus belajar dan berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

KEADILAN PAJAK: Refleksi Atas Putusan PUT-011457.16/2022/PP/M.VIIIA Tahun 2025 dan Relevansi Pasal 35, 36, dan 37 UU NO.16 Tahun 2009

6 April 2025   13:25 Diperbarui: 6 April 2025   13:28 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perpajakan adalah salah satu aspek yang krusial dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, semakin kompleksnya dunia usaha, termasuk di dalamnya adalah kasus PT Sumiden Serasi Wire Products melawan Direktur Jenderal Pajak, mengungkap banyak hal terkait keadilan dan transparansi pajak, Pertama-tama, kita perlu paham PT Sumiden Serasi Wire Products ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi kabel dan kawat, dan tentu aja, sebagai perusahaan, mereka punya kewajiban untuk membayar pajak ke negara, termasuk pajak penghasilan (PPh) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nah, konflik ini muncul karena ada perbedaan persepsi antara PT Sumiden dan Direktorat Jenderal Pajak mengenai kewajiban perpajakan.

Relevansi Kasus dengan Pasal 35, 36, dan 37 UU No. 16 Tahun 2009

Pasal 35 menyatakan bahwa subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan yang memiliki kewajiban membayar pajak. Namun, satu isu yang mencolok adalah sama inimya perlakuan antara subjek pajak orang pribadi dan badan. Sebagai badan hukum, PT Sumiden harus menghadapi peraturan pajak yang lebih kompleks. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi keadilan dalam pengenaan pajak, mengingat kondisi bisnis yang terus berubah.

  1. Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2009: Subjek Pajak Orang Pribadi dan Badan

Pasal 35 mengatur bahwa subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan. Dalam PT Sumiden, sebagai badan hukum, mereka dianggap sebagai subjek pajak badan. Namun, yang perlu kita kritisi di sini adalah bagaimana pasal ini mengatur kewajiban yang sama antara badan hukum dan orang pribadi. Dalam praktiknya, pajak bagi perusahaan besar seperti PT Sumiden seringkali lebih kompleks dibandingkan dengan individu. Akhirnya, bisa ada ketidakadilan dalam perlakuannya. Supaya lebih fair, seharusnya ada penyesuaian yang lebih jelas mengenai perbedaan perlakuan antara subjek pajak yang merupakan badan hukum besar dan individu. Tidak adanya diferensiasi yang jelas antara badan besar dan kecil menimbulkan ketidakpastian. Semestinya, ada kriteria yang memisahkan perlakuan untuk meringankan beban pajak pada usaha kecil agar mereka tetap bisa bersaing. Kewajiban yang sama untuk melaporkan pajak kepada badan pajak sering kali menambah beban administrasi, sehingga mempengaruhi profitabilitas perusahaan.

  1. Pasal 36 UU No. 16 Tahun 2009: Objek Pajak

Pasal 36 mengatur bahwa objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Pasal ini menjelaskan bahwa objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Ini cukup luas, dan di satu sisi, itu bagus untuk menangkap semua potensi pendapatan. Tapi di sisi lain, definisi yang terlalu luas ini bisa berdampak negatif, karena memunculkan kebingungan di mana kita harus menarik garis antara apa yang dianggap sebagai objek pajak dan tidak. Misalnya, PT Sumiden mungkin memiliki beberapa jenis pendapatan yang masih abu-abu terkait pengenaan pajak. Seharusnya, ada kejelasan lebih lanjut mengenai apa yang masuk dalam kategori ini agar perusahaan bisa lebih siap dalam memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa takut terkena sanksi yang tidak adil. Definisi yang terlalu luas membuat banyak perusahaan bingung mengenai objek pajak mereka. Keterbatasan kejelasan ini berpotensi menimbulkan sengketa dan ketidakpuasan. Sering kali, penerapan pasal ini tidak memberikan batasan yang cukup terkait jenis pendapatan yang seharusnya dipajaki, sehingga bisa merugikan perusahaan yang sudah berusaha patuh

  1. Pasal 37 UU No. 16 Tahun 2009: Kewajiban Membayar Pajak

Pasal ini mengatur tentang kewajiban wajib pajak untuk membayar pajak yang terutang. Kritik utama di sini adalah soal sistem pemungutan pajak yang kadang terasa memberatkan, khususnya bagi perusahaan yang sedang berusaha untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat. Sistem ini bisa menjadi dilema, di mana pajak harus dibayar secara tepat waktu, tetapi di sisi lain, perusahaan juga butuh modal untuk operasional. Di sinilah seharusnya ada keseimbangan dalam pengenaan pajak yang tidak hanya melihat dari sisi pendapatan negara, tetapi juga pertumbuhan dan keberlangsungan usaha perusahaan. Dalam situasi tertentu, perusahaan harus membayar pajak meskipun sedang merugi. Pendekatan ini membebani perusahaan, terlebih bagi yang baru beroperasi atau tengah mengalami kemunduran ekonomi. Sementara kewajiban ini penting, pemerintah harus memberikan alternatif seperti penjadwalan ulang pembayaran pajak agar perusahaan tetap bisa bertahan.

Studi Kasus: Analisis PUT-011457.16/2022/PP/M.VIIIA

Saat melihat putusan ini, kita bisa menilai bahwa terdapat upaya pengadilan untuk memberikan keadilan bagi PT Sumiden, sekaligus juga menegaskan peraturan yang ada. Di satu sisi, keputusan ini bisa dilihat sebagai suatu bentuk perlindungan bagi wajib pajak agar tidak kebablasan dalam kewajiban perpajakan. Namun, di sisi lain, keputusan itu juga mengundang pertanyaan tentang seberapa kuat regulasi yang ada melindungi hak-hak wajib pajak.

Dari sudut pandang PT Sumiden, keputusan ini pasti jadi angin segar, karena memberikan mereka kesempatan untuk memperjuangkan hak-haknya. Namun, tentu saja ini menimbulkan dilema bagi pemerintah yang berupaya meningkatkan pendapatan negara dari sektor perpajakan. Putusan ini menunjukkan upaya penegakan keadilan namun juga menjadi refleksi bagaimana regulasi pajak bisa berdampak pada kelangsungan usaha. Keputusan yang mendukung PT Sumiden menunjukkan bahwa ada dinamika di mana wajib pajak dapat menuntut keadilan. Namun, tantangan ke depan adalah menciptakan regulasi yang proaktif dalam mendukung keberlangsungan perusahaan sambil tetap menjaga kepentingan pendapatan negara.

Kritik Terhadap Peraturan Perpajakan

Sistem perpajakan di Indonesia, terutama dalam konteks PT Sumiden ini, menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya adalah ketidakjelasan dalam definisi objek pajak yang memengaruhi kepatuhan wajib pajak. Ketika pemerintah mengenakan pajak, mereka juga harus memastikan bahwa persepsi wajib pajak terhadap pajak itu jelas dan adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun