Mohon tunggu...
melisa emeraldina
melisa emeraldina Mohon Tunggu... Menulis untuk Berbagi Pengalaman

"Butuh sebuah keberanian untuk memulai sesuatu, dan butuh jiwa yang kuat untuk menyelesaikannya." - Jessica N.S. Yourko

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Apakah Orang Tua Rela Anaknya Masuk Neraka?

26 Agustus 2025   08:04 Diperbarui: 7 September 2025   15:14 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak merasa bersalah (Sumber Freepik)

"Jangan membantah orang tua, jika tak mau menjadi anak durhaka"

Kalimat itu terus ditegaskan kepada anak. Diturunkan dari generasi ke generasi. Baik oleh orang tua, guru maupun tokoh agama. Menjadi peringatan agar anak tak membantah dan selalu patuh pada orang tua. Apapun kata orang tua, seperti sebuah titah yang harus diikuti.

Lalu bagaimana jika anak memiliki keteguhan pada pilihannya sendiri  tetap membantah? Kata mereka "Anak durhaka tidak akan masuk surga" atau sebaliknya "Anak durhaka akan masuk neraka".

Melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), durhaka diartikan sebagai ingkar terhadap perintah (Tuhan, orangtua dan sebagainya). 

Sebagai anak, tentu berbakti pada orang tua menjadi kewajiban. Agama pun mengajarkan bahwa anak harus berbuat baik pada orang tua, berbakti, berkata baik dan mendoakan orang tua. Tetapi, apakah setiap bentuk perbedaan pandangan anak dengan orang tua yang menyebabkan anak terlihat melawan atau ingkar pada perintah orang tua, otomatis bisa dibawa ke label durhaka?

POV (Point Of View) Anak

Mari melihat dari perspektif anak, yang belum pernah mengalami menjadi remaja, dewasa, dan belum pernah menjadi orang tua. 

Anak-anak akan selalu membuat kesalahan-kesalahan dalam prosesnya belajar. Anak akan selalu mencoba hal baru, penasaran pada hal-hal menarik yang ada di sekitarnya. Mereka belum paham benar akan risiko. Belum paham pada bahaya yang mengancam. Dan seringkali belum paham apa dampak perilakunya pada lingkungan sekitar. 

Tak heran jika anak-anak akan selalu tampak banyak salah dimata orang tua. Karena orang tua sudah tahu mana yang lebih baik dan benar, meskipun kadang juga hanya dalam perspektif mereka sendiri. Ketakutan orang tua tak srlalu benar. Dan terlalu protektif juga bisa menghambat perkembangan anak.

Anak yang aktif, kreatif, suka mencoba hal baru dan banyak inisiatif, lebih mudah mendapat label nakal dan bandel dari orang tua karena juga berpotensi lebih banyak melakukan kesalahan. Berbeda dengan anak yang pasif dan anteng. Meskipun bisa jadi, dia anteng karena tidak pernah diijinkan untuk "berkreasi" dengan aman. Bisa jadi dia banyak diam (di depan orang tua), karena sistem kecemasannya mengatakan bahwa jika dia banyak tingkah, orang tua akan ngomel dan dia akan kena marah. 

Anak yang mendapat label nakal ini kemudian selama bertahun-tahun meyakini bahwa dirinya serba salah, durhaka, merepotkan dan bukan anak yang baik. Dia selalu merasa sebagai anak penuh dosa dan hidup penuh rasa bersalah. Padahal dalam hatinya, dia juga memendam rasa kecewa sebagai anak yang disalahpahami. Dia tak pernah diberi kesempatan untuk memproses ulang perasaannya, bahwa dia hanya berbuat salah dan itu wajar. Dia hanya sedang belajar, belum paham mana cara yang paling benar di mata orang tuanya lebih baik. 

John Bowlby, seorang psikolog asal Inggris mengembangkan Attachment Theory (Teori Keterikatan) yang menjelaskan secara psikologis ikatan dan hubungan emosional antarmanusia. Teori ini menyatakan bahwa ikatan paling awal yang terbentuk antara anak dan pengasuh utamanya, yaitu biasanya orang tua, memiliki dampak luar biasa yang berlanjut sepanjang hidup. (sumber: verywellmind.com)

Ikatan emosional yang aman (secure attachment) terbentuk ketika anak merasa dilindungi, diterima, merasa aman dan mendapatkan kasih sayang tanpa syarat, seperti harus pintar, harus patuh, harus selalu hebat dll. 

Sebaliknya, keterikatan yang tidak aman (insecure attachment) muncul ketika orang tua bersikap tidak konsisten, penuh kritik, mengekang, penuh kontrol atau mengabaikan kebutuhan emosional anak. Dan rasa tidak aman ini justru semakin memicu sifat melawan, memberontak dan dapat terlihat seperti anak yang tidak patuh. Padahal, perilaku itu sesungguhnya merupakan ekspresi dari kebutuhan emosi dan validasi yang tidak terpenuhi dari orang tua. 

Bagaimana Jika Orang Tua yang Salah?

Jika kita renungkan dari sisi lain: Bagaimana jika orang tua yang salah, karena tidak melakukan pencegahan dengan memberikan pemahaman dan pendidikan yang benar?

Bagaimana jika orang tua mengajarkan hal yang baik tapi selalu tidak sadar melakukan dan mencontohkan hal yang buruk di depan anak?

Nyatanya orang tua juga belum pernah merasakan menjadi orang tua sebelumnya. Artinya, orang tua juga bisa salah dalam perannya sebagai orang tua. Padahal, semua orang tua sudah pasti pernah menjadi anak. Sehingga seharusnya, dia bisa menempatkan diri dalam posisi dan POV menjadi anak. 

Jangan sampai, anak selalu diberi teror bahwa mereka bisa menjadi anak durhaka jika tak patuh. Mereka tidak boleh membuat orang tua kecewa, sedih dan menangis. Dengan dalih "Ridho orangtua adalah ridho Tuhan". Bagai sumpah serapah, orang tua bilang kepada anak, "Jika Tuhan tak ridho, maka hidup anak bisa penuh kesulitan di masa depan nanti."

Padahal banyak sekali orang tua yang tidak sadar bertahun-tahun membuat anaknya sedih, kecewa dan menangis hampir setiap hari. Anak merasa dikekang, tak pernah diberi kesempatan untuk memilih jalan hidupnya sendiri dan selalu disalahkan. Tidak dipenuhi haknya sebagai anak. Bahkan menanggung tanggung jawab keuangan saat beranjak dewasa, karena orang tua tak cakap dalam mencari dan mengelola uang.

Bisa saja hidup anak sudah bertahun-tahun mengalami kesulitan, menunggu suatu hari bisa dipeluk dan dipahami. Anak seperti itu hampir tak pernah takut lagi jika dia harus kesulitan di masa depan, karena setiap hari hidupnya sudah terasa bagai mimpi buruk yang sangat letih dia jalani. 

Yang menjadi pertanyaan: "Apakah ada orang tua rela anaknya masuk neraka?" Mengapa mereka rela menyebutkan teror itu, meskipun hanya sebagai ancaman. 

Jila tidak rela, kenapa orang tua seringkali menempatkan anaknya pada pilihan-pilihan sulit yang sangat mungkin tidak dipilih dibantah anak? 

Kenapa orang tua tidak memberikan kesempatan berdiskusi, tentang apa pandangan orang tua terhadap suatu hal, dan memberikan kesempatan anak itu untuk menjelaskan bagaimana perspektif anak itu dalam menentukan pilihannya. Lalu berkomunikasi secara seimbang, membantu anak untuk memilih jalan hidupnya dengan berbagai pertimbangan dan masukan orang tua. 

Barangkali anak memang sudah siap dengan risiko dan kemungkinan hal buruk dari pilihannya yang mungkin akan dia hadapi di masa depan. 

Kenapa orang tua memilih meletakkan anaknya di posisi ujung jurang: Untuk harus patuh atau menjadi anak durhaka?

Apa itu hanya sebuah teknik manipulasi, karena orangtua ketakutan kehilangan kontrol pada anak?

Renungan

Membesarkan dan mendidik anak akan indah jika dilakukan dengan komunikasi yang penuh kasih, dibanding menakut-nakuti dengan label durhaka dan teror neraka?

Semoga ini menjadi renungan kita semua. Bahwa dalam mendidik anak, tujuan akhirnya bukan hanya melahirkan anak yang patuh, tunduk dan selalu bisa dikontrol, agar bisa menjadi anak versi yang sempurna di mata orang tua. 

Tetapi bagaimana agar anak bisa tumbuh menjadi manusia utuh, bahagia, mengejar impiannya sendiri, bahagia pada pencapaian dan prestasinya sendiri. Juga anak yang berbakti kepada orang tuanya dengan tulus, bukan karena takut neraka, melainkan karena cinta.

Apakah orang tua lupa, jika setelah dia tiada, hanya doa-doa anaknya yang akan menjadi penyelamatnya?

Sudah saatnya generasi ini memutus rantai trauma.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun