Mohon tunggu...
Melina
Melina Mohon Tunggu... Lainnya - Teknisi Pangan

Menulis untuk sharing, karena sharing is caring.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebajikan Itu Sederhana, Dimulai dari Rasa Peduli

12 Agustus 2022   20:01 Diperbarui: 13 Agustus 2022   10:25 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebajikan (Tim Marshall/Unsplash).

Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati

Kalimat ini membuat saya termenung.

Memang benar bahwa perubahan itu pasti. Waktu berjalan. Dunia berubah. Teknologi berkembang. Manusia berubah, beradaptasi mengikuti perubahan zaman dan perkembangan teknologi. Lantas, dimana letak kebajikan?

Kebajikan sendiri hakikatnya adalah komitmen untuk melakukan kebaikan. Hal ini membuat kebajikan berbeda dari kebaikan. Seseorang pasti pernah melakukan kebaikan satu dua kali dalam hidupnya. Namun, kebajikan adalah kebaikan yang berlangsung terus menerus.

Seseorang pernah berkata, "Virtue is similar to silence. Simply, because we know what it is, but we can't fully explain it by using words."

Kebajikan itu mirip seperti keheningan. Hanya karena kita tahu itu ada, tapi tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Well... kutipan itu benar adanya. Yang jelas menurut saya, kebajikan itu sebenarnya sederhana, semuanya dimulai dari rasa peduli. Karena dari rasa peduli itu kita akan tersentuh dan tergerak untuk tidak mementingkan diri sendiri, menolong orang lain, dan melakukan apa yang disebut dengan kebajikan.

Apakah kita (saya) sudah melakukan kebajikan?

Apa yang bisa kita (saya) lakukan?

Adalah kebajikan-kebajikan kecil dan sederhana. 

Di rumah, saya membantu mama di rumah menyapu, mengepel dan mencuci piring, memasak makanan yang enak untuk papa yang sudah bekerja keras, dan belajar dengan baik. 

Di rumah kami tidak ada asisten rumah tangga (ART). Tanggung jawab untuk merawat rumah ada di tangan kami sendiri. Melihat mama repot dan sibuk, sudah sewajarnya membantu mama, meringankan beban mama, dan bersama-sama menjaga kebersihan di rumah. Toh, akhirnya kita sendiri yang menikmati rumah yang bersih dan nyaman itu.

Lalu, memasak masakan yang enak untuk papa yang merupakan tulang punggung keluarga. Dengan demikian, dia merasa jerih payahnya dihargai. Di rumah dia disambut dengan hangat dan makanan apa adanya, sederhana tapi enak, sesuai dengan kesukaannya.

Tidak lupa belajar dengan baik. Belajar itu demi diri sendiri, tapi dengan belajar dengan baik, semampu dan semaksimal mungkin, saya tidak menyia-nyiakan uang hasil kerja keras orang tua.

Kebajikan terhadap sesama, mahluk hidup, dan lingkungan, tidak harus selalu diukur dengan uang. Sejatinya, kebajikan itu bisa dilakukan semua orang. Kalau selalu diukur dengan uang dan bersedekah, apakah berarti hanya orang kaya yang bisa berbuat kebajikan? Tentu saja tidak.

Kebajikan itu harga mati. Bukan karena kebajikan harus tetap mengikuti perubahan zaman dan manusianya, tapi karena kebajikan itulah yang membawa perubahan.

Butterfly Effect atau Efek Kupu-kupu

Kebajikan itu... bagaikan kepakan sayap kupu-kupu yang lembut namun memiliki kekuatan untuk menyebabkan perubahan.

Hal yang sederhana, misalnya membuang sampah pada tempatnya. Bila setiap orang di Jakarta bisa membuang sampah pada tempatnya, kita tidak akan menemukan sampah di trotoar, sampah di taman kota, dan sampah di sungai atau di waduk. Tanpa sampah-sampah tersebut tentu Jakarta akan jadi kota yang bersih. Kemudian, besar kemungkinan Jakarta tidak akan menjadi langganan banjir akibat got yang tersumbat atau sungai yang meluap.

Hal sepele dan sederhana, tapi ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Lebih tepatnya, tidak semua orang mau melakukannya. Kuncinya adalah kurangnya kepedulian masyarakat.

Kita tidak perlu menjadi seorang yang sosialis untuk melakukan kebajikan. Kebajikan itu harus masuk akal. Kata nenek buyut saya, "Jangan sosial, nanti malah jadi so(k) sial)." Ini ada benarnya. Berbuat baik, bukan berarti sampai harus mengorbankan diri sendiri atau keluarganya, misalnya menyumbang korban bencana alam sampai harus mengutang.

Menjadi seseorang yang individualis namun tetap sosialis.

Individualis selalu identik dengan orang yang egois. Dibalik kata "individualis" tersebut, bisa juga kan diartikan "seorang individu yang mandiri, yang tidak suka menggantungkan diri atau menyusahkan orang lain." 

Untuk tidak menyusahkan orang lain, bukankah itu sebuah kebajikan?

Seorang individualis tetap bisa menjadi sosialis, selama dia peduli. 

Contohnya adalah ketika melihat sebuah roti yang dijual di supermarket berjamur. Ya, jangan dibiarkan. Ambillah roti itu, lalu bawa ke petugas untuk dibuang. Jangan sampai roti itu dibeli orang lain, lalu dimakan, dan membuat orang lain sakit. 

Kesalahan roti sampai berjamur dan dijual ini memang kesalahan pihak supermarket. Namun, kita tidak perlu membuat heboh atau perkara. 

Cukup dibuang saja, beres kan? Dan apakah kita perlu menjadi sosialis untuk melakukan hal ini? Yang penting adalah rasa peduli.

Wasana kata

Kebajikan itu sederhana, tidak sulit, semuanya dimulai dari rasa peduli. Dunia dan zaman boleh berubah, tapi rasa peduli itu tidak boleh berubah. Karena setiap hal kecil yang kita lakukan itu berarti. Seperti efek kupu-kupu dan pepatah yang mengatakan: "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit."

Kebajikan besar atau kecil, terlihat atau tidak, semuanya sama-sama membawa perubahan. Perubahan yang lebih baik. Perubahan itu pasti, tapi KEBAJIKAN HARGA MATI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun