Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Permenkes No 30 Tahun 2019: Kian Terbatasnya Ruang Dokter Spesialis dan Subspesialis

15 Oktober 2019   02:04 Diperbarui: 16 Oktober 2019   17:38 18310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Shutterstock

Dunia kesehatan khususnya di bidang perumahsakitan di tengah perjuangan untuk tetap bertahan dan terus beroperasional meski terjadi keterlambatan pembayaran klaim oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Permasalah defisit yang sudah cukup lama dan belum tuntas sampai sekarang, malah mendapat kejutan baru lagi dengan lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2019 (Permenkes 30/2019) tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. 

Secara ringkasnya Permenkes 30/2019 ini mengatur dan menegaskan kembali kualifikasi tenaga medis, alat-alat kesehatan dan penunjang kesehatan lainnya sesuai dengan kelas rumah sakit yang sudah ditentukan. 

Jika klasifikasi yang sudah ditentukan itu tidak dipenuhi maka akan berpengaruh terhadap perizinan rumah sakit dan tentunya terhadap legalitas suatu tenaga medis bekerja pada rumah sakit tersebut.

Secara sederhana munculnya Permenkes 30/2019 yang kesannya mendadak ini dengan alasan karena dilatarbelakangi oleh distribusi dokter spesialis dan subspesialis yang tidak merata. 

Dikatakan bahwa ada rumah sakit tipe A dan B yang kekurangan dokter spesialis dan subspesialis, tapi di lain pihak juga terjadi kelebihan/penumpukan dokter spesialis dan subspesialis di RS tipe C. 

Selain itu alasan lain adalah belum berjalanannya sistem rujukan berjenjang yang selama ini diharapkan, sehingga menurunnya mutu pelayanan dan keselamatan pasien di mana pasien harus menunggu waktu pelayanan yang lama dan penumpukan pasien di kelas RS tertentu. 

Dari alasan latar belakang yang disampaikan itulah akhirnya Permenkes ini segera ditandatangani oleh Menteri Kesehatan akhir September kemarin.

Peraturan yang paling berpengaruh terhadap RS khususnya tipe C dan D adalah pengaturan kemampuan fasilitas dan jumlah pelayanan medik pada RS tersebut.

Sebagai contoh RS Umum kelas C dikatakan paling sedikit harus memiliki 4 spesialis dasar (penyakit dalam/Sp. PD, anak/Sp. A, bedah/Sp. B, dan kebidanan kandungan/Sp. OG) dan 4 penunjang medik spesialis dan paling banyak adalah 4 spesialis dasar, 5 penunjang medik spesialis ditambah 3 pelayan medik spesialis selain spesialis dasar. 

Jika RS tipe C tersebut selama ini memiliki 4 spesialis dasar (Sp. PD, Sp. A, Sp. B dan Sp. OG) dan ternyata memiliki banyak spesialis lainnya yang non penunjang (Saraf/Sp. S, Jantung/Sp. JP, Mata/Sp. M, Telinga Hidung Tenggorok/Sp. THT, Paru/Sp. P, Kulit dan Kelamin/Sp. KK, Psikiater/Sp. KJ dll) maka otomatis RS tersebut harus memutus kerjasama dengan banyak dokter spesialis dan mempertahankan 3 jenis spesialis di luar 4 spesialis dasar.

Selain itu dokter subspesialis juga tidak diperkenankan berada di RS tipe C, sehingga walaupun dia termasuk dalam spesialis dasar tapi karena sudah subspesialis maka mau tidak mau RS harus menghentikan kerja sama karena tidak ada tempat untuk dokter subspesialis di tipe C.

Ini baru contoh di RS tipe C, bagaimana dengan RS tipe D yang hanya mensyaratkan 2 spesialis dasar (Sp. PD dan Sp. A) dan paling banyak di tambah 1 lagi spesialis dasar antara Sp. B atau Sp. OG. Pastinya akan menimbulkan banyak sekali perubahan kebijakan bagi direksi dan manajemen di RS tersebut dan tentunya bagi para dokter spesialis maupun subspesialis yang sudah kadung praktek dan punya pasien di RS tersebut.

Peraturan lain yang cukup memberatkan terutama RS swasta adalah adanya aturan yang mewajibkan RS memiliki dokter spesialis tetap atau dalam kata lain dokter spesialis purna waktu/organik di RS Swasta tersebut. 

Sudah diketahui Bersama bahwa RS swasta memiliki permasalahan klasik yaitu minimnya memiliki dokter tetap karena keterbatasan sumber daya dan rata-rata dokter yang bekerjasama di sana hanyalah dokter spesialis tamu/paruh waktu karena merupakan dokter tetap di RS negeri atau RS lainnya.

Walaupun khusus pemenuhan dokter spesialis tetap ini diberi masa tenggang selama 4 tahun, namun tetap dirasa berat oleh sebagian besar RS swasta.

Penulis mencoba memahami dari sudut pandang pemerintah. Peraturan ini betul-betul sangat ideal dalam sistem rujukan berjenjang sehingga pasien tertangani sesuai dengan berat dan kompleksitas penyakit. 

Dari segi kelayakan pendayagunaan dokter spesialis maupun subspesialis yang sesuai tempatnya peraturan ini menempatkan dokter sesuai potensi yang ada di RS, tidak under maupun over-kompetensi.

Namun dari para pengamat kesehatan, justru dengan adanya pembatasan jenis pelayanan spesialis/sub spesialis dan jumlah pelayanannya di RS tipe A, B, C dan D akan menyebabkan akses pelayanan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan spesialis/sub spesialis menjadi terbatas.

Bahkan, cenderung terjadi birokratisasi layanan. Hal ini adalah sikap yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur secara tertulis yang disampaikan kepada Ketua Umum PB IDI.

Yang menjadi pemikiran penulis, se-urgensi ataupun emergensi apakah yang terjadi di negara ini sehingga Menteri Kesehatan secara buru-buru mengeluarkan Permenkes 30/2019 alih-alih ikut urun rembuk membantu memikirkan dan penataan sistem pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akhirnya memberatkan operasional RS yang tidak terbayar klaimnya. Kesempatan berkarir dokter spesialis dan subspesialis menjadi sangat terbatas. 

Dan menurut pemikiran penulis justru Permenkes ini seperti pengingkaran ataupun antitesis terhadap perjuangan Kementerian Kesehatan sendiri melalui pengembangan SDM yang memberikan beasiswa kepada dokter untuk menjadi spesialis maupun subspesialis dengan harapan akan dikirim ke daerah-daerah terpencil dan terluar di mana ujung-ujungnya dokter nonspesialis dasar tidak banyak punya kesempatan berkarir di RS tersebut karena notabenenya RS tersebut bertipe C dan D.

Kalau penulis berkaca dari sudut pemikiran teman-teman sejawat spesialis maupun subspesialis, peraturan ini akan mengancam menurunkan pelayanan yang berakibat penurunan kesejahteraan mereka sebagai dokter spesialis/subspesialis yang memang seharusnya adalah hak mereka setelah melewati pendidikan yang panjang dan biaya yang tidak sedikit. 

Ketika mereka menempuh pendidikan subspesialis dengan mengorbankan waktu, tenaga, materi dan keluarga namun sekembali dari pendidikan justru mereka hanya punya kesempatan berpraktek di RS tipe A dan B, tidak diperkenankan untuk berpraktek di RS tipe C dan D, tentunya hal ini tidak akan sesuai harapan dan tidak sebanding dengan harapan saat melanjutkan Pendidikan.

Permenkes 30/2019 ini adalah suatu idelisme tetapi belum siap diaplikasikan di negeri Indonesia tercinta ini. Ketika di negara lain seorang dokter sudah sangat terjamin kesejahteraannya dengan hanya bekerja dan praktek di satu rumah sakit saja karena sistem penghargaan dan pembayarannya sudah sangat baik.

Maka, di Indonesia seorang dokter spesialis dan subspesialis masih harus memaksimalkan kesempatan 3 Surat Izin Praktek (SIP) untuk berjuang mendapatkankan kata terjamin kesejahterannya, itupun dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang belum maksimal dan mengakibatkan banyaknya jasa medis dokter yang belum terbayar oleh RS karena operasional yang terganggu akibat klaim yang tidak dibayar.

Yang penulis takutkan dengan adanya Permenkes 30/2019 ini adalah seorang dokter spesialis menjadi tidak termotivasi lagi untuk mengambil sub spesialis karena kekhawatiran jika selesai pendidikan justru hanya bisa praktek di RS tipe A dan B, tidak bias lagi praktek di RS C dan D yang justru kesejahteraanya akan turun.

Idealnya Permenkes 30/2019 ini lahir disertai dengan terbitnya peraturan pemerintah ataupun undang-undang yang menjamin kesejahteraan seorang dokter spesialis/sub spesialis walaupun hanya praktek pada satu RS saja.

Namun kenyataanya adalah tanpa ada urgensi yang jelas, Permenkes ini lahir ditengah adanya defisit BPJS Kesehatan untuk membayar klaim fasilitas kesehatan. Sehingga murnikan permenkes ini lahir untuk memperbaiki sistem kesehatan khususnya rumah sakit di Indonesia, ataukah terdapat misi lain lahirnya Permenkes ini? 

Idealisme di tengah pragmatisme. Wallahu'alam.

Salam sehat,
dr. Meldy Muzada Elfa, Sp. PD

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun