Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Permenkes No 30 Tahun 2019: Kian Terbatasnya Ruang Dokter Spesialis dan Subspesialis

15 Oktober 2019   02:04 Diperbarui: 16 Oktober 2019   17:38 18310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Shutterstock

Selain itu dokter subspesialis juga tidak diperkenankan berada di RS tipe C, sehingga walaupun dia termasuk dalam spesialis dasar tapi karena sudah subspesialis maka mau tidak mau RS harus menghentikan kerja sama karena tidak ada tempat untuk dokter subspesialis di tipe C.

Ini baru contoh di RS tipe C, bagaimana dengan RS tipe D yang hanya mensyaratkan 2 spesialis dasar (Sp. PD dan Sp. A) dan paling banyak di tambah 1 lagi spesialis dasar antara Sp. B atau Sp. OG. Pastinya akan menimbulkan banyak sekali perubahan kebijakan bagi direksi dan manajemen di RS tersebut dan tentunya bagi para dokter spesialis maupun subspesialis yang sudah kadung praktek dan punya pasien di RS tersebut.

Peraturan lain yang cukup memberatkan terutama RS swasta adalah adanya aturan yang mewajibkan RS memiliki dokter spesialis tetap atau dalam kata lain dokter spesialis purna waktu/organik di RS Swasta tersebut. 

Sudah diketahui Bersama bahwa RS swasta memiliki permasalahan klasik yaitu minimnya memiliki dokter tetap karena keterbatasan sumber daya dan rata-rata dokter yang bekerjasama di sana hanyalah dokter spesialis tamu/paruh waktu karena merupakan dokter tetap di RS negeri atau RS lainnya.

Walaupun khusus pemenuhan dokter spesialis tetap ini diberi masa tenggang selama 4 tahun, namun tetap dirasa berat oleh sebagian besar RS swasta.

Penulis mencoba memahami dari sudut pandang pemerintah. Peraturan ini betul-betul sangat ideal dalam sistem rujukan berjenjang sehingga pasien tertangani sesuai dengan berat dan kompleksitas penyakit. 

Dari segi kelayakan pendayagunaan dokter spesialis maupun subspesialis yang sesuai tempatnya peraturan ini menempatkan dokter sesuai potensi yang ada di RS, tidak under maupun over-kompetensi.

Namun dari para pengamat kesehatan, justru dengan adanya pembatasan jenis pelayanan spesialis/sub spesialis dan jumlah pelayanannya di RS tipe A, B, C dan D akan menyebabkan akses pelayanan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan spesialis/sub spesialis menjadi terbatas.

Bahkan, cenderung terjadi birokratisasi layanan. Hal ini adalah sikap yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur secara tertulis yang disampaikan kepada Ketua Umum PB IDI.

Yang menjadi pemikiran penulis, se-urgensi ataupun emergensi apakah yang terjadi di negara ini sehingga Menteri Kesehatan secara buru-buru mengeluarkan Permenkes 30/2019 alih-alih ikut urun rembuk membantu memikirkan dan penataan sistem pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akhirnya memberatkan operasional RS yang tidak terbayar klaimnya. Kesempatan berkarir dokter spesialis dan subspesialis menjadi sangat terbatas. 

Dan menurut pemikiran penulis justru Permenkes ini seperti pengingkaran ataupun antitesis terhadap perjuangan Kementerian Kesehatan sendiri melalui pengembangan SDM yang memberikan beasiswa kepada dokter untuk menjadi spesialis maupun subspesialis dengan harapan akan dikirim ke daerah-daerah terpencil dan terluar di mana ujung-ujungnya dokter nonspesialis dasar tidak banyak punya kesempatan berkarir di RS tersebut karena notabenenya RS tersebut bertipe C dan D.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun