Sains dan agama acap kali dipandang sebagai dua entitas yang bertolak belakang. Sains dikategorikan sebagai pendekatan rasional yang bertumpu pada data empiris, sedangkan agama dianggap berdasar pada keyakinan dan pewahyuan ilahi. Akan tetapi, persepsi semacam ini cenderung menyederhanakan permasalahan dan kerap memicu perselisihan yang sebenarnya tidak esensial. Menurut pandangan saya, ilmu pengetahuan dan agama sejatinya dapat berkoeksistensi serta saling mendukung, bukannya saling menghapuskan.
Sains membekali kita pemahaman tentang mekanisme alam semesta bekerja. Ia memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terkait proses: mekaisme turunnya hujan, proses evolusi manusia, atau pembentukkan tata surya. Sebaliknya, agama lebih berfokus menjawab pertanyaan mengenai makna: tujuan kita hidup, etika berperilaku yang seharusnya dijalani, serta apa esensi dari kehidupan manusia.
Meskipun kedua bidang tersebut beroperasi dalam ranah yang berbeda, bukan berarti tidak ada potensi interaksi. Sederet tradisi keagamaan, termasuk Islam, memandang upaya memperoleh pengetahuan sebagai suatu bentuk pengabdian spiritual. Terdapat pula ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang mengajurkan manusia untuk melakukan refleksi, kontemplasi, serta observasi terhadap lingkungan alam. Fenomena ini mengindikasikan bahwa agama, dalam kondisi tertentu, dapat memfasilitasi perkembangan ilmu pengetahuan.
Di sisi lain, penerapan ilmu pengetahuan tanpa landasan nilai-nilai moral yang umumnya diajarkan oleh agama dapat menimbulkan risiko. Catatan sejarah menunjukkan bagaimana inovasi ilmiah, seperti teknologi nuklir atau rekayasa genetika, berpotensi disalahgunakan apabila tidak disertai dengan prinsip etika yang kokoh. Dalam konteks ini, agama dapat berperan sebagai benteng moral guna memastikan ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, bukan untuk tujuan destruktif.
Banyak ilmuwan terkemuka yang juga memiliki keyakinan religius. Individu seperti Isaac Newton, Albert Einstein, serta tokoh Muslim seperti Ibnu Sina atau Al-Biruni, membuktikan bahwa kesalehan spiritual dan keinginan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat saling melengkapi dalam diri seseorang.
Oleh sebab itu, alih-alih memperkuat pemisahan antara sains dan agama, sebaiknya kita memupuk keselarasan di antara keduanya. Kompleksitas dunia kontemporer menuntut pendekatan yang menyeluruh, yang tidak hanya bersandar pada rasionalitas dan bukti empiris, melainkan juga pada kearifan dan nilai-nilai kemanusiaan. Apabila sains dan agama bekerja sama secara sinergis, pemahaman kita terhadap alam semesta akan meningkat, dan menempatkan eksistensi manusia secara signifikan di dalamnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI