Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu Dunia Lain: Ibu

2 Desember 2020   20:24 Diperbarui: 2 Desember 2020   20:37 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada usia ketika lariku akan disambut tawa orang-orang, aku lebih memilih melengket pada satu perempuan. Berlari dari belakang dan mengagetkannya. Aku tidak tahu sepintar apa aku saat itu karena aku tahu bahwa ekspresi terkejutnya  selalu palsu, ia hanya pura-pura kaget untuk menyenangkanku. Untung saja aku tidak terlalu memikirkan itu.

Aku suka sekali aroma tubuhnya pukul enam pagi saat aku berlari-lari atau berpura-pura membantunya menyapu pelataran. Sesekali aku akan menenggelamkan kepalaku yang masih seukuran kelapa yang belum masak ke tubuhnya yang sudah harum sedari matahari belum terbit. 

Aroma tubuhnya seperti tepung agar-agar yang bungkusnya selalu kupungut ketika ia memasakkan agar-agar untukku. Jenis wewangian yang membuatmu berpikir bahwa sumber wangi itu bisa dimakan. Menunjukkan pula bahwa sumber wangi itu sangat aman karena tidak seperti parfum yang tidak bisa diteguk, tepung agar-agar punya kelebihan bisa dimakan.

Perempuan berhidung mancung ini selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku, permintaan-permintaanku, seolah tahu bahwa selepas umur tujuh, anak kecil akan puas mengemis permintaan dan mendewasa dengan cepat.

Ia jugalah yang bertanggungjawab atas pengetahuanku bahwa ketika aku tidak memberi seseorang makanan yang sama dengan yang kumakan, setidaknya aku harus menyembunyikan itu darinya. 

Ia mengajariku bahwa ketika tangan kanan memberi, bahkan seluruh jari-jari tangan kanannya tidak wajib tahu apa yang diberikan melaluinya.

Kadang aku berpikir, bahwa mestinya aku minta maaf pada anak-anakku kelak karena mereka tidak akan mendapatkan ibu yang seperti ibuku. Ibu yang pukul lima pagi panik membawaku ke rumah bidan hingga keliru mengenakan sendalku yang kekecilan di kakinya yang besar.

Ibu yang keliru mengenakan sprei untuk menggendong bayi ketika bangun dalam keadaan listrik mati dan harus keluar rumah karena suatu hal. Aku juga penasaran kenapa ia keluar rumah malam-malam dengan membawaku dan adikku dalam gendongan, yang kuingat ia menyambut bapak yang baru bubar dari tahlilan.

Pernah suatu ketika, aku memotong percakapan ibu dengan cucu pertamanya, tanyaku, mengapa menggunakan istilah rumit yang keponakanku tidak akan mengerti? Bagaimana mereka akan belajar bila kita terbiasa menyederhanakan segala sesuatunya? Jawabnya. Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa aku tidak tahu apa-apa.

Harusnya nanti selepas ibu pensiun dari pekerjaannya, kubuatkan lembaga kursus yang mempelajari cara menjadi ibu yang baik. Akan kubikinkan sertifikat tanda kelulusan dengan kriteria lulus beberapa SKS dan akan ditandatangani ibuku sendiri. Jika saja ukuran menjadi ibu yang sukses tidak dilihat dari outputnya (baca: aku), sudah akan kubuatkan lembaga kursus itu.

Dulu ketika lulus dari sekolah dasar, ibu menuturiku untuk membetah-betahkan diri tinggal di rumah orang. Kata ibu, ia pernah mendengar dari kyai entah siapa, bahwa anak tidak akan mendapat apapun jika dibuai orang tuanya melulu. Dengan mata merah tertahan, aku iyakan. Cukup masuk akal, pikirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun