Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Mahasiswa

9 Juli 2020   20:52 Diperbarui: 9 Juli 2020   21:06 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bicara tentang pergerakan mahasiswa tentu tidak akan ada habisnya. Karakteristik berkonotasi positif semacam muda, bergelora, berani seringkali dialamatkan kepada golongan terpelajar ini. Sangat beralasan sebenarnya, mengingat golongan muda mempunyai andil penting kepada bangsa sejak pra kemerdekaan. Mahasiswa STOVIA, anggota Jong Java, Jong Sumatranen Bond adalah contoh-contoh heroik dari lapisan masyarakat satu ini. 

Tidaklah salah bila agen perubahan adalah istilah lain dari golongan mahasiswa. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, apakah pemberian istilah itu tidak membuat golongan ini terglorifikasi? 

Dari jejak sejarah pergerakan mahasiswa, mahasiswa yang mengenyam pendidikan dewasa ini merasakan silau dari sisa-sisa keheroikan mahasiswa zaman lampau. Merasa bangga jika tergabung dalam badan eksekutif, perhimpunan atau istilah lain yang tidak kalah menterengnya. Ada yang berhasil mempertahankan denyut jantungnya dalam dunia akademik ada pula yang terlalu asyik menggamit lengan pergerakan lain dan lupa jika ia harus belajar. 

Semuanya mengagumkan. Semua istimewa. Tetapi bila semua istimewa, lantas apa gunanya predikat istimewa? Apakah predikat istimewa dapat mengantar mahasiswa itu untuk menghidupi diri selepas kelulusan? Tentu. Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, serta Adian Napitupulu adalah beberapa sampel yang mewakili keberhasilan mahasiswa dengan predikat istimewa. Walaupun mungkin yang tidak seberhasil itu lebih banyak.

Bagaimana dengan para mahasiswa setelahnya? Ketua BEM UGM yang menjadi salah satu duta platform belanja online misalnya. Kita dapat tidak setuju atau berdebat tentang etis atau tidaknya tindakan ini, tapi satu hal yang saya kira akan disetujui semua adalah bahwasanya endorse itu datang kepadanya setelah beberapa nyawa melayang dalam demonstrasi. Tidak cukup pintarkah otak retorikanya untuk berempati? 

Sekarang, mari bergeser sedikit ke kota yang lebih kecil. Baru-baru ini perguruan tinggi di suatu kampus berhasil mewarnai trending Twitter dengan suatu tagar. Berbentuk kalimat tanya, tagar itu menyerukan pertanyaan yang juga tidak akan bisa dijawab di media sosial. 

Meski selepas melakukan audiensi dengan pihak tertuntut, badan eksekutif tertinggi di kampus itu masih menyerukan penggemaan tagar dalam rangka, eh maaf saya juga tidak mengerti tujuannya apa. Jika tujuannya untuk mendapat sorotan media karena tidak mendapat tanggapan kampus, maka aksi ini sangat mudah dipahami. Tetapi tuntutan mereka telah diterima dan sedang diproses. Lalu tujuannya apa? 

 Keganjilan tidak sampai disitu. Tuntutan yang dilayangkan dalam bentuk poster itu tidak mencantumkan instansi resmi manapun yang bertanggungjawab akan aksi tagar tersebut. Lebih aneh lagi, banyak mahasiswa kampus itu yang tetap mengiyakan dan menaikkan tagar tersebut di Twitter. Kalau terjadi di dunia nyata, seseorang yang tidak terlihat wajahnya mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu, apakah mungkin orang itu akan mengikutinya? 

Saat berhasil masuk ke dalam trending Indonesia, terdapat beberapa akun yang meramaikan tagar dengan ucapan sekenanya yang berbau seksual. Ada pula yang menuntut hal yang tidak termuat dalam tuntutan dalam poster. Tidak heran bila orang yang tidak tahu seluk beluk permasalahan akan mengartikan upaya ini dilakukan oleh buzzer. 

Saat itu juga, saya sempat mengecek akun twitter resmi kampus itu yang notabenenya masih aktif. Demi melihat seberapa banyak orang yang menyerang akun tersebut. Ternyata hanya segelintir saja yang berani tampil gagah perkasa dalam naungan tagar. Kicauan berisik yang mampir di trending Twitter tidak berarti pengicau berani menaruh sedikit suaranya pada akun resmi kampus. Padahal di akun resmilah suara mereka akan bergema lebih keras.

Sebetulnya jika isu mahasiswa ini dibawa pada skala yang lebih kecil, mahasiswa seperti ini juga menimbulkan beberapa problema di ranah pengerjaan tugas. Asyik absen hingga tugas kelompok terbengkalai, menyombong dengan dalih ia termasuk lapisan mahasiswa kelas atas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun