Mohon tunggu...
MELANY LAILA YOLANDA
MELANY LAILA YOLANDA Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa S1 Psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarata

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Scroll yang Menghipnotis: Ketika Jempol Bekerja, Otak Terperangkap

20 Oktober 2025   10:12 Diperbarui: 20 Oktober 2025   10:12 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bagi gen-z yang hidup beriringan dengan perkembangan teknologi digital serba cepat, tentunya sosial media bukan lagi hal yang asing. Sosial media telah menjadi bagian dari rutinitas harian. Terutama bagi gen-z, hampir setiap waktu luang digunakan untuk menggulir layar di sosial media atau kerap dikenal dengan istilah "Scrolling". Seringkali seseorang berkata pada dirinya sendiri "scroll lima menit ah, setelah itu baru lanjut belajar" namun secara tidak sadar lima menit itu berubah menjadi satu jam. Aktivitas yang tampak sederhana ini ternyata tidak sesederhana yang terlihat. Pada awalnya scrolling ini dilakukan hanya untuk mencari kesenangan instan di waktu luang, tetapi sekarang ini banyak orang yang meluangkan waktu untuk scrolling secara terus menerus. Menggulir video demi video, dari berita sensasional menjadi meme lucu, dari tips produktif sampai konten edukasi, terus mencari hiburan instan yang seolah tidak ada habisnya. Fenomena ini bukan sekedar perubahan gaya hidup, tetapi juga menggambarkan bagaimana otak manusia, khususnya sistem dopamin, dalam menanggapi stimulus digital yang datang secara terus menerus.

            Menurut sudut pandang biologi, ketika seseorang mendapatkan informasi menarik dari sosial media, otak akan melepaskan dopamin, neurotransmitter dengan rumus kimia C6H3(OH)2-CH2-H2-NH2 yang berperan dalam menciptakan rasa senang dan puas. Dopamin inilah yang membuat otak kita terperangkap dan membuat seseorang terdorong untuk terus menggulir sosial media tanpa henti, karena otak menginginkan sensasi senang tersebut datang berulang kali. Mekanisme ini hampir sama dengan seseorang yang kecanduan dengan perjudian dan narkoba. Media sosial dirancang dengan algoritma yang mampu mengenali preferensi pengguna dan memunculkan konten yang dapat menarik perhatian para pengguna. Hal ini yang membuat pengguna enggan untuk meninggalkannya dan terdorong untuk melakukannya secara terus menerus.

Dopamin memiliki peran penting terhadap sistem penghargaan otak, dopamin cenderung memotivasi seseorang untuk melakukan kembali hal yang membuat seseorang bahagia. Ketika seseorang mendapatkan penghargaan dari media sosial, orang tersebut akan terdorong untuk terus aktif di media sosial dan akan kesulitan untuk meninggalkannya, karena mereka akan mencari suntikan dopamin dari media sosial secara terus menerus.

Tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi scrolling di media sosial akan merangsang area otak dengan sistem penghargaan dan menciptakan rasa puas sementara. Hal ini membuat seseorang susah untuk berhenti scrolling di media sosial. Ketika like dan comment  masuk, otak akan menganggapnya sebagai validasi sosial yang memperkuat perilaku scrolling tanpa henti. Penemuan ini menunjukan bahwa interaksi di media sosial tidak hanya memberikan seseorang dorongan untuk terus menerus menggunakan media sosial, tetapi fenomena ini mengindikasikan bahwa ketergantungan terhadap aktivitas media sosial mungkin terjadi sehingga membuat seseorang merasa terikat dan akan selalu mencari validasi sosial dari interaksi media sosial.

Pada akhirnya, fenomena scrolling media sosial ini mencerminkan bahwa teknologi digital mampu mempengaruhi sistem syaraf secara halus namun mendalam. Ketika kita tidak dapat mengendalikan diri dalam scrolling media sosial, teknologi digital ini secara perlahan akan menghadirkan dampak buruk bagi kehidupan. Remaja Khususnya gen-z, sangat rentan untuk kecanduan dengan teknologi digital karena variasi gen, seperti variasi pada gen yang mengkode reseptor dopamine D2 dan enzim pendegrasi dopamin yang meningkatkan kerentanan. Overaktivasi dopamin pada individu dapat menyebabkan resiko perilaku adiktif dan dapat menggagu rancangan tindakan dengan lebih memilih imbalan instan daripada memilih manfaat jangka panjang. Selain itu, kecanduan terhadap teknologi digital ini dapat mempengaruhi perhatian, suasana hati, regulasi emosi, hambatan dalam pengambilan keputusan, dan jika tidak ada kesadaran maka akan timbul dampak negatif lainnya yang dapat mengganggu aktifitas di kehidupan sehari-hari.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua penggunaan media sosial itu berdampak buruk. Media sosial dapat menjadi sarana pembelajaran, ekspresi diri, dan interaksi sosial yang positif. Kuncinya terletak pada kesadaran dan pengendalian diri. Dengan memahami bahwa rasa senang saat scrolling bukanlah kebahagiaan sejati, melainkan respon kimia dari dopamin. Pengaturan waktu, digital detox, atau mengganti kebiasaan scrolling dengan aktivitas bermakna lainnya, seperti membaca, berolahraga, dan berkumpul dengan orang secara langsung dapat membntu menyeimbangkan kembali system dopamin.

Dari banyaknya kekhawatiran, diperlukan upaya preventif untuk mengatasi kecanduan scrolling media sosial, yaitu platform bisa menciptakan fitur  "timer" agar para pengguna dapat lebih mudah mengatur durasi layar dan waktu istirahat pada penggunaan sosial media dan platform juga dapat menambahkan fitur  "pilihan referensi konten" pada pengaturan aplikasi supaya pengguna dapat menentukan sendiri konten yang diminati, jadi konten yang hadir bukan hanya konten acak dari riwayat like, comment, dan share melainkan berdasarkan keinginan dari para pengguna media sosial. Cara tersebut bisa dilakukan agar pengguna dapat merasa cukup atas informasi yang diberikan oleh sosial media dan tidak mengundang rasa penasaran pengguna untuk terus scrolling tanpa henti. Platform juga harus mementingkan kesejahteraan pengguna, bukan keuntungan finansial. Selain itu dibutuhkan pula pendekatan kolaboratif dari orang tua, edukasi, literasi digital, dan transparansi dari perusahaan sangat penting untuk menumbuhkan kebiasaan bermedia sosial yang sehat serta diharapkan dapat melindungi kesehatan mental para remaja, khususnya Gen-z.

Kabar baiknya, seseorang tidak harus meninggalkan media sosial, namun cukup dengan menyadari bahwa media sosial dapat mempengaruhi cara kerja otak adalah langkah awal untuk mengambil kembali kendali kita. Kita dapat belajar bermedia sosial secara sehat, bukan sebagai sumber ketergantungan, tetapi sebagai alat yang mendukung kesejahteraan psikologis.K

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun