Palembang, 17 April 2025, pukul 08.20 pagi. Sinar matahari menyelinap ke ruang kelas 4 SD Negeri 181 Palembang, tempat saya berkesempatan mengajar salah satu materi yang sering dianggap sulit bagi siswa sekolah dasar---pecahan.
Saya adalah M. Ekhzan Natha Pratama, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, yang sedang menjalani program praktik pengalaman lapangan. Hari itu, saya mengajar dengan metode yang berbeda agar proses pembelajaran terasa menyenangkan: menggunakan pendekatan ice breaking.
Sejak memasuki kelas, saya menangkap ekspresi ragu-ragu dari beberapa siswa. Wajar saja---kata "matematika" sering kali membuat dahi berkerut. Maka sebelum masuk ke materi, saya mengajak mereka untuk bermain sejenak. Ice breaking ini saya kemas dalam bentuk permainan menyebutkan nama teman dan pecahan favorit mereka. Contohnya: "Ini Khadafi, pecahan favoritnya tiga per empat!"
Tawa mulai terdengar. Suasana kelas yang semula sunyi berubah menjadi ceria dan penuh semangat. Saya pun melihat senyum lebar di wajah mereka, tanda bahwa hati mereka sudah terbuka untuk belajar.
Dalam gambar ini, saya sedang membimbing salah satu siswa kelas 4 untuk memahami konsep pecahan dengan menggunakan gambar bangun datar. Kami menggambar bentuk-bentuk seperti persegi panjang dan belah ketupat di papan tulis, lalu membaginya menjadi beberapa bagian yang sama besar.
Pendekatan visual seperti ini sangat membantu siswa dalam memahami bahwa pecahan bukan hanya angka, tapi juga bagian dari suatu keseluruhan yang nyata. Saya berdiri di sampingnya, mengarahkan dengan sabar sambil membiarkannya aktif mencoba sendiri. Momen seperti ini menjadi bukti nyata bahwa pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa terlibat langsung secara aktif.
Setelah permainan singkat itu, kami pun mulai masuk ke materi inti. Saya menggunakan alat bantu sederhana seperti potongan kertas warna-warni untuk menjelaskan konsep pecahan. Kami membuat lingkaran seperti pizza, kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian. Salah satu siswa yang cukup aktif, Khadafi, antusias saat diminta maju ke depan dan mencoba membagi "pizza" menjadi empat bagian sama besar.
Selama kegiatan berlangsung, saya mendapat dukungan dari Ibu Tri Septianti Handayani, S.Pd, guru kelas yang selalu siap mendampingi dan memberi arahan. Beliau juga ikut membantu siswa yang kesulitan, memastikan tidak ada yang tertinggal dalam proses belajar.
Hasilnya, suasana kelas menjadi sangat interaktif. Siswa-siswi tidak hanya mendengarkan, tapi juga aktif bertanya, menjawab, bahkan berdiskusi. Mereka terlihat lebih percaya diri dan tidak takut salah.