Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjadi Muslim Peduli dengan "Seni Hidup Minimalis"

11 Juni 2019   11:33 Diperbarui: 11 Juni 2019   11:42 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
E-book Seni Hidup Minimalis (dokumentasi pribadi)

Aku sadar judul artikel ini klik bait banget tapi, plis, baca dulu penjelasannya sampai akhir ya...

Dalam buku "Wanita yang Merindukan Surga" karya Esti Dyah Imaniar, penulis menjelaskan tentang hijrah pekerjaan.Dia mengatakan bahwa muslimah yang sudah hijrah bukan hanya perlu pekerjaan yang halal tapi juga harus thayyib, berasal dari usaha yang tidak mengancam kelanjutan sumber daya alam. 

Salah satu cara mengatasi keterbatasan sumber daya akibat infak (dalam konsep konsumsi/ pembelanjaan harta) yang tidak thayyib adalah dengan membatasi konsumsi. Jadi, meskipun secara kemampuan ekonomi seseorang bisa banget membelanjakan hartanya tapi kalau nggak perlu ya nggak usah.

Semangat ini, menurutku sejalan dengan semangat hidup minimalis. Karenanya, aku kemudian membuka buku "Seni Hidup Minimalis" karya Francine Jay lewat aplikasi iPusnas. 

Hidup minimalis bukan sekadar tinggal di rumah perumahan tipe minimalis dengan perabotannya yang tanpa ornamen dan berwarna putih. Hidup minimalis adalah tentang pola pikir dan sikap kita terhadap barang-barang yang kita miliki.


Prinsip dari hidup minimalis adalah membatasi barang yang kita beli dan hanya berfokus pada hal-hal yang penting. Secara global, gaya hidup kita berdampak pada banyak hal. Dalam skala individu, pilihan yang kita buat sebagai konsumen berdampak langsung terhadap lingkungan.

Jadi, walaupun kita menjadi muslim yang diberkahi rejeki yang amat banyak, kita tidak perlu membeli segala yang kita mau walaupun porsi sedekah juga banyak. Semua barang yang kita beli, diproduksi dengan menggunakan sumber daya alam. Kalau kita tidak membatasi konsumsi kita, kita akan menjadi manusia yang tidak thayyib.

Dalam bab awal buku yang diterjemahkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama ini, kita akan dibekali pesan bahwa barang yang kita miliki tidak mencerminkan diri kita. Jadi, jangan pernah juga menilai orang dari barang-barang yang mereka punya. Hal ini penting ditanamkan juga pada anak-anak kita yang masih kecil bahwa harga dirimu tidak sama dengan harga barang-barangmu atau seberapa jauh kamu bepergian.

Intermezzo sedikit, beberapa waktu lalu aku membaca sebuah status di Facebook tentang anak-anak kecil (usia TK maupun SD) yang mendapat perundungan dari kawan-kawannya karena dia tidak punya sepatu merk tertentu dan belum pernah pergi ke sebuah tempat tertentu. Bagiku ini menyedihkan. Jika sedari kecil saja mereka bisa membuat lingkaran pertemanan berdasarkan materi, mau jadi apa mereka saat dewasa?

Memang tidak mudah menjadi orang yang berfikir minimalis di dunia yang dihubungkan oleh media sosial seperti sekarang ini. Iklan, endorsement, dan orang-orang pamer menghujani kita tanpa henti, menyampaikan pesan bahwa sukses diukur dari materi yang kita gunakan. Mereka mengeksploitasi fakta bahwa membeli status itu mudah. Kemudian, terlilitlah orang-orang itu dengan hutang. Mengerikan ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun