Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lupakan FCL dan Mulai Menghidupkan Perpustakaan Desa

5 Februari 2019   13:58 Diperbarui: 6 Februari 2019   12:37 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok: pontianak.tribunnews.com

Pagi ini, aku agak terenyuh membaca berita yang menyatakan bahwa PT. Pos Indonesia menunda pembayaran gaji karyawannya. Agak mengagetkan karena bagaimanapun PT. Pos Indonesia adalah perusahaan milik negara.

Dalam berita tersebut dikatakan bahwa PT. Pos sedang dalam upaya mengatur aliran dananya. Dan bagian yang tidak terhindarkan dari pengaturan itu adalah tertundanya gaji karyawan.

Sorenya, aku membaca sebuah status yang diunggah oleh Nirwan Arsuka, presiden Pustaka Bergerak Indonesia.

Berdasarkan naskah perjanjian kerja sama (PKS) antara Kemedikbud dan PT Pos Indonesia, maka ada sejumlah perubahan pengiriman buku yang akan diputuskan. Sebelum keputusan yang mengikat itu diresmikan, alangkah baik jika kita menjajaki pendapat para dermawan dan relawan pustaka yang selama ini aktif mengirim dan mengumpulkan buku. 

Opsi yang ditawarkan dalam jajak pendapat tersebut secara garis besar adalah apakah donatur bersedia menyeleksi sendiri buku-buku yang akan dikirimkan ke TBM agar tepat sasaran atau membiarkan Kemendikbud menjadi perantara untuk menyeleksi dan mengirimkannya ke TBM tujuan.

Di komentar status tersebut, banyak yang tidak setuju dengan ide membiarkan Kemendikbud menjadi perantara. Mereka meminta Free Cargo Literacy (FCL/literasi bebas bea, atau penggratisan biaya kirim paket buku) tetap berlangsung seperti yang sudah-sudah. Tanpa ada perantara, tanpa ada syarat lainnya. 

Pertama, mereka tidak setuju karena alasan ribet. Yang lainnya, merasa kurang percaya pada petugas Kemendikbud untuk membungkus kembali buku-buku dan menyalurkan pada TBM yang akan dituju. Melibatkan pihak ketiga memang tidak pernah nyaman, ya?

Sebenarnya, aku kurang lebih paham mengapa Kemendikbud ingin menjadi perantara bila mereka harus membiayai pengiriman gratis ini. Aku mencoba mencari di Google apakah ada yang sudah mengevaluasi pelaksanaan program FCL yang selama ini berlangsung. Namun aku tidak mendapatkannya. Namun aku sering membaca di media sosial. 

Banyak donor yang dikirimkan tidak tepat sasaran. Ada yang mengirimkan buku-buku bekas yang tidak layak baca, buku aktivitas yang sudah terisi dan robek, peralatan tulis yang tidak bisa digunakan, dan yang lainnya. 

Belum lagi, distribusi donor yang tidak terdistribusi secara merata. Ada TBM yang mendapatkan buku sampai bertumpuk-tumpuk banyak sekali. Ada juga TBM yang selama program berjalan tidak mendapatkan satu buah buku pun.

Kalau Kemendikbud harus menanggung biaya pengiriman buku ini, Kemendikbud ingin dana yang dikucurkannya keluar secara efisien. Tidak ada uang yang terbuang untuk mengirimkan 'sampah' atau menumpuk barang di satu tempat. Hal seperti ini, yang nampaknya tidak dibayangkan oleh orang-orang yang berteriak 'ribet' di status milik Nirwan Arsuka. 

Bahkan, mungkin mereka tidak pernah berfikir bahwa program FCL, yang sampai bulan November 2018 kemarin menghabiskan dana lebih dari 13 Milliar rupiah, ini yang menjadi salah satu beban dari PT. Pos Indonesia yang menyebabkan ditundanya pembayaran gaji pegawainya.

Sebelum ada FCL, pegiat literasi bisa berdaya upaya untuk melakukan kegiatan mereka. Mereka memang terbeban dengan ongkos kirim yang mahal. Namun mereka memiliki jalan keluarnya sendiri.

Seorang teman, yang 'hobi' mengumpulkan buku-buku layak pakai untuk dikirim ke sekolah dan perpustakaan di luar Jawa, menjual cokelat dan teh untuk biaya mengirimkan buku itu. 

Teman lain yang memiliki TBM di kaki gunung Tangkuban Perahu, dengan senang hati berbagi biaya pengiriman buku ke TBM-nya. Kadang, dia sendiri yang menyewa mobil pick up untuk menjemput buku-buku yang ditawarkan oleh donatur. Artinya, ongkos kirim buku memang mahal. Namun itu bukan berarti tidak bisa diupayakan, kan?

Jadi menurutku, bila memang program FCL belum bisa membuat aturan yang nyaman untuk pegiat literasi dan efisien untuk menyandang dana, sebaiknya dihentikan saja dulu program itu. Program bisa digodog dengan lebih matang dan lebih baik.

Tapi mau digodog sampai kapan? Dan bagaimana nasib anak-anak yang ada di daerah pinggiran dan 3T untuk bisa menikmati buku?

Hei, bukankah setiap kabupaten/kota memiliki Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah? Mereka kan menaungi perpustakaan desa yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. 

Salah satu alokasi wajib dari dana desa adalah untuk membuat perpustakaan. Dari berdesa.com, Menteri Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, menegaskan hal tersebut dan melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman dengan Perpustakaan Nasional RI.

Jadi, daripada mendesak PT. Pos untuk mengembalikan program FCL, menurutku sebaiknya kita desak pemerintah desa untuk membangun perpustakaan. Atau kalau perpustakaan sudah ada, kita desak untuk membuatnya lebih bagus.

Perpustakaan Nasional sendiri juga sudah menyanggupi untuk mengakomodasi bacaan yang dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan. Pak Syarif Bendo, Kepala Perpustakaan Nasional RI, berkata bahwa beliau akan mengadakan pertemuan antara Kemendes, penerbit, dan penulis untuk membahas mekanisme membawa konten buku supaya bisa sampai ke daerah pedesaan. Desa hanya diminta untuk menyiapkan infrastruktur. Sedangkan buku dan kontennya, akan disediakan oleh Perpusnas.

Jadi, kita biarkan pemerintah menunaikan kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Kalau kita mau ikut serta, gunakan daya dan upaya yang bisa kita usahakan. Kalau tidak mau berusaha, ya lakukan apa yang mampu dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun