Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mampir ke Rumah Makan Sunda Ciganea di Purwakarta

20 Juni 2018   10:51 Diperbarui: 20 Juni 2018   11:22 1683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Jam berapa sekarang, Nyah?" tanya suamiku.

"Jam 7 kurang," jawabku.

"Kayaknya kita harus sarapan," ujar suamiku. "Tapi kayaknya lagi belum ada warung yang buka."

Aku tidak menanggapi pernyataan itu. Namun aku mengedarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu, ada tempat makan yang buka pagi-pagi begini.

Saat itu, kami ada di kota Purwakarta. Kami sedang dalam perjalanan ke Bandung dari Bekasi dengan mengendarai sepeda motor. Kami berangkat dari Kota Bekasi pukul 5 pagi setelah kami melaksanakan solat subuh. Demi tidak mengotori piring, kami tidak sarapan di rumah (walaupun jam 5 memang masih terlalu pagi untuk sarapan). Kami memutuskan untuk sarapan sambil beristirahat dalam perjalanan nanti.

Aku kemudian melihat ponsel yang stand by di aplikasi google map.

"Nyah, di depan nanti kita lewat jalan Ciganea," kataku sambil membaca peta. "Kita sarapan di rumah makan Ciganea aja, Nyah..."

"Emang udah buka?" tanya suamiku.

"Semoga, udah," jawabku.

Tak lama, kami melintasi jalan Pemuda dan sampai di persimpangan gerbang tol Jatiluhur. Aku melihat rumah makan Ciganea di sebelah kiri jalan. Lekas-lekas ku tepuk pundak suamiku.

"Ini, Nyah," kataku.

"Mau makan di sini?" tanyanya.

Aku mengangguk. Kami pun berhenti dan memarkirkan motor di rumah makan yang pada pintunya di dominasi cat warna hijau dan kuning. Di halaman parkir, hanya ada sebuah mobil sedan berwarna hitam yang menggunakan plat nomor B. Sepertinya, pemilik mobil sedan itu musafir seperti kami.

Saat kami masuk, beberapa orang yang berseragam merah hitam sibuk mondar-mandir. Aku menghampiri salah seorang di antara mereka yang sedang menata piring di atas meja.

"A, tos buka?" tanyaku.

"Atos, Neng," jawabnya. "Mangga..."

Aku mengangguk padanya dan mengajak suamiku memilih tempat duduk. Setelah berkeliling, kami memilih duduk di depan counter kasir. Tak berapa lama kami duduk, seseorang meletakkan sebakul nasi, secobek sambal, dan sepiring lalapan di atas meja.

"Menunya mana, Mas?" tanya suamiku.

"Di sini, semua menu yang sudah siap akan kami hidangkan di atas meja kecuali sate," jawab orang itu. "Sate baru akan dihidangkan bila ada yang pesan. Tapi sekarang belum siap."

Orang itu segera berlalu. Suamiku mengerutkan dahinya. Dia tidak familiar dengan penyajian menu di rumah makan Sunda. Tak berapa lama, orang itu datang lagi membawa piring yang berisi 2 potong gepuk, 2 potong ayam goreng, dan 4 potong tempe goreng.

"Menunya ini doank?" tanya suamiku.

"Masih disiapin kali," jawabku. "Aku mau cuci tangan dulu."

Aku kemudian bangkit berdiri dan menuju wastafel yang terletak di depan counter keluarnya makanan yang akan disajikan di meja tamu. Belum ada makanan lain yang keluar dari situ. Dua orang karyawan berdiri di depan counter itu sambil bercakap-cakap. Nampaknya, mereka sedang menunggu makanan yang telah selesai disiapkan oleh orang yang memasak di dalamnya.

Saat suamiku selesai mencuci tangan, aku masih belum menyentuh makanannya karena masih berharap ada menu yang lain.

"Kayaknya udah gak ada menu lain deh, tuh yang punya sedan item udah mulai makan. Tadi aku liat yang di mejanya sama sama kita," kata suamiku sambil duduk.

Pengguna sedan hitam yang kami lihat di awal tadi, duduk selang satu meja dengan kami. Bila kami berjalan menuju wastafel, kami melewati meja mereka.

Di counter kasir, aku melihat daftar menu. Aku kemudian mengambilnya dan membacanya.

"Sebenernya banyak lho menunya," gumamku.

Suamiku menjulurkan lehernya untuk ikut membaca daftar menu yang aku pegang. Ketika ada seorang karyawan yang melintas di dekat kami, suamiku memanggilnya.

"Teh, ini menunya yang siap cuma ini?" tanyanya.

"Ada yang mau dipesan?" tanya karyawan itu balik. "Nanti akan saya tanyakan ke dapur."

"Bakwan jagung ada?" tanya suamiku membaca daftar menu.

Karyawan tersebut kemudian permisi. Tak berapa lama dia kembali dan berkata kalau bakwan jagungnya belum ada. Kami mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh. Ini masih pukul 7 pagi. Tidak banyak yang bisa kami harapkan. Kami menyantap yang telah dihidangkan di meja kami.

Aku mengambil ayam goreng. Suamiku mengambil gepuk. Bumbu ayam gorengnya meresap sampai ke dalam tulang. Aku mencicipi gepuk yang diambil suamiku. Gepuknya enak. Bumbunya merata dan yang penting empuk. Dan yang paling juara adalah sambalnya. Enak banget. Ada rasa manis dan segar. Aku yang tidak menyukai pedas pun menyendok agak banyak.

Rumah makan Ciganea ini memiliki beberapa cabang di luar Purwakarta. Salah satunya di Padalarang. Saat aku masih tinggal di Padalarang sampai tahun lalu, aku memang tahu kalau rumah makan Ciganea ini terkenal dengan sambal dadakannya. Namun aku tidak menyangka sambalnya dapat menggodaku yang tidak menyukai sambal.

Walaupun di bagian belakang nampak masih perlu perbaikan, namun di bagian depan rumah makan ini cukup keren. Ada counter karedok dan kedai kopi tersendiri. Nyaman juga untuk sekedar duduk-duduk melepas lelah. Apalagi tempatnya ada dekat gerbang tol.

Rumah makan Ciganea sudah ada sejak tahun 1981 (menurut tulisan yang ada di dinding rumah makan itu). Menurut cerita (ini cerita dari Google), pendirinya bernama Rd. H. Atik Djayasputra. Sekarang, pengelolanya bernama Pak Haji Dadang.

"Ini bayarnya gimana?" tanya suamiku.

"Ya pake duit," jawabku asal.

"Ini semua kita bayar?" tanyanya lagi sambil menunjuk sisa makanan yang ada di meja.

"Yang kita bayar yang kita makan aja," jawabku. "Itu gepuk, kalau kamu ambil lagi berarti bayarnya 2."

"Taunya kita ngambil 2 dari mana?" tanyanya lagi.

"Dia kan nyajiin 2," jawabku. "Kalo ternyata piringnya kosong habis kita makan berarti kan kita makan 2."

Suamiku mengangguk-anggukkan kepalanya. Nampaknya, suamiku tidak familiar dengan sistem penyajian makanan dan pembayaran di rumah makan ini.

Di daerah Sunda, kebanyakan rumah makan menerapkan sistem penyajian semua menu seperti ini. Konon katanya, restoran Padang juga menerapkan sistem seperti ini. Namun, aku belum pernah menemui restoran Padang yang menyajikan semua menu di meja tamu. Restoran Padang yang aku kunjungi selalu menyajikan menu sesuai dengan apa yang kita pesan.

Aku belum pernah makan di rumah makan Sunda di Jakarta atau Bekasi. Mungkin, rumah makan Sunda di Jakarta dan Bekasi tidak menyajikan semua menu di meja tamu. Mereka menyajikan hanya apa yang dipesan oleh tamu. Semuanya disesuaikan dengan daerah dimana cabang rumah makan itu buka. Mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun