Mohon tunggu...
Meisya Zahida
Meisya Zahida Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan penunggu hujan

Sejatinya hidup adalah perjuangan yang tak sudah-sudah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Surat buat Ibu

20 Maret 2020   10:07 Diperbarui: 20 Maret 2020   10:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ceritakan kembali padamu, Bu! Sajak perjalanan yang pernah kau ramalkan lewat garis tangan, ketika kecil dulu saat aku bermanja dengan kancing bajumu.

"Nasibmu berajah bintang, Nak! Kelak kau  akan jadi hartawan," suaramu berdendang bulan, legam bola matamu menyusuri hitam rambutku. Seolah kau ingin berkata, betapa masa penuh coba tercermin lewat lebatnya. Aku hanya tersenyum memaknai ucapmu, tak pernah paham apakah takdir bisa dilihat sedemikian gampang.

Aku telah dewasa, Bu! Mungkin setelah kita berjauhan aku hanya bisa kau lihat di meja belajar, di dinding kamar, atau di album kenangan kita, bahkan sering kau sapa dalam doamu yang ijabah, seperti azimat rindu menggelitik pikiranku sebab darahmu kekal di jantungku.

Aku merindukanmu, Ibu. Dalam hempas gejolak merajai batinku, masih terngiang sedemikian lekat sebaris kalimat kala kau lepas aku sebelum berangkat.

"Kau tak cukup kuat menantang samudra, Nak. Gelombang pasang di luar sana akan membuatmu tenggelam, bekalmu tak cukup untuk bisa bertahan. bagaimana kau akan minta tolong jika kedinginan, sedang bajumu masih ibu jahitkan, apa kau bisa berenang dengan telanjang untuk sampai ketepian?"

Aku pun menanggapi bahasamu dengan anggukan, sekadar meyakinkan kalau aku hanya butuh kepercayaan.

****

Kini, dalam pengembaraan yang mungkin sudah kau ikhlaskan. Aku dihadapkan dengan banyak persoalan, inikah kekayaan yang ditandai garis tangan, semacam keputusan tak bisa ditolak atau  dialihkan. Gambaran peristiwa kerap meminta kesabaran, kadang aku jatuh, berusaha bangkit dan bangkit lagi.

"Kau benar, Ibu. Aku sudah teramat kaya, bukan karena harta seperti ramalanmu. Tapi, keragaman nuansa hidup semakin membuka pikiranku"

Ibu, bagaimana kabarmu di sana? Apakah aquarium kecil tempat aku bercermin dulu masih jernih, tak pernah kulupa bagaimana semangatmu bercerita tentang ikan-ikan yang bernapas di dalam air, mereka tetap hidup, bergerak, seperti tak pernah letih menggelembungkan air. Kau bilang itu cara ikan mengembangkan pertumbuhan diikuti anak-anaknya. Ikan-ikan yang tak kan sanggup hidup di darat kecuali di air. Entahlah, itu benar atau salah. Yang kusadari aku sangat menikmatinya, merasakan lentik jemarimu tiada bosan menidurkan letihku. Memandangi raut wajahmu sampai aku mengatup mata.

"Tidurlah, Nak! Kelak kau akan paham makna lelah yang sebenarnya, bukan karena ragamu yang debebani muatan, bukan karena bengkak kakimu dalam menempuh jauhnya perjalanan, bukan juga merah matamu karena terlalu banyak membaca buku pelajaran. Bila tiba masanya kau akan mengerti apa itu ketakutan, kesedihan, juga kehilangan. Sekarang bermimpilah untuk kau gapai ketinggian yang kau angankan, di atas puncaknya kau pasti melihat seberapa jauh kau mendaki dan betapa dalamnya jurang yang tengah kau gali," kudengar bisikanmu, Bu. Lamat-lamat tersemat di kalbu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun