Mohon tunggu...
Meisya Zahida
Meisya Zahida Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan penunggu hujan

Sejatinya hidup adalah perjuangan yang tak sudah-sudah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Serangkai Mawar Pengikat Pertalian

15 Maret 2020   16:07 Diperbarui: 17 Maret 2020   19:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi malam dan kunang-kunang. (sumber: pixabay.com/artie_navarre)

"Iya, Rin! Sebentar!" jawabku dari dalam.

Dengan sangat hati-hati kupandangi wajahku di cermin, semua terasa normal tak ada yang aneh. Bibirku bergetar, tak bisa kubayangkan kejadian menakutkan akan kembali berulang dalam babak yang berbeda, pasti bapak dan ibu bakal kecewa dan aku kembali dipermalukan. 

"Setiap laki-laki yang ingin menyematkan cincin di jari manisku, mereka seperti kena tusukan duri-duri dan mengerang kesakitan."

Apa yang mesti kuperbuat, kalau ada pilihan biar kusendiri saja selamanya tanpa harus menerima cemoohan dan gunjingan menyedihkan, "perempuan pembawa petaka". 

Tapi, aku juga mesti menghargai usaha ibu yang telah bersusah payah mengungsikan aku di rumah nenek dan menunggu jodohku datang lagi, perasaanku benar-benar diuji antara menyerah dan meniti harapan baru.

"Tuhan, jika ini jodohku dan imam terbaik bagiku dalam memenuhi amanahmu, lindungi dan mudahkan jalanku. Aku ingin membahagiakan Ibu," bisikku tanpa suara, di antara doa yang kupanjatkan, mataku mulai berkaca-kaca karena cemas dan gelisah.

***

Aku terkulai lemas, tak mampu menghindari tatapan aneh orang-orang yang mengelilingi Faqih, calon suamiku, yang terjerembab tiba-tiba saat ritual penyematan cincin itu berlangsung. 

Sebelumnya dia mengalungkan serangkaian bunga mawar ke leherku, sembari bibirnya mendesiskan sesuatu. Aku sempat mundur beberapa langkah, ketakutan serasa mengepungku, bersamaan tatapan ibu yang menghunjam jantungku.

"Tuhan ..., lindungi kami!" Aku mulai terisak.

Aku telah mengecewakan ibu dan keluarga. Pastinya mereka malu akibat takdir gelap yang kualami. Aku memejamkan mata tanpa berani mengerjap sedikit pun, kiamat benar-benar telah memporag-porandakan ruangan khidmat yang hanya disaksikan keluarga aku dan Fakih, tubuhku serasa kaku dan perasaanku tergiring dalam nuansa pekat yang sulit kuartikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun