Mohon tunggu...
Meike Lusye Karolus
Meike Lusye Karolus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP di Universtitas Hasanuddin Makassar. Tulisan yang lain dapat dilihat di www.meikemanalagi.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini, Tukang Curhat yang Menjadi Pahlawan

21 April 2011   11:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:33 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_103044" align="aligncenter" width="300" caption="RA Kartini sumber : google"][/caption] Ibu kita Kartini Pendekar bangsa Pendekar kaumnya Untuk merdeka Wahai ibu kita Kartini Putri yang mulia Sungguh besar cita-citanya Bagi Indonesia ( salah satu bait dalam Lagu "Ibu Kita Kartini" ciptaan W.R Supratman ) Apa persamaan antara Kartini dengan kita yang hidup di zaman sekarang ? Selain karena kelaminnya sama ( tentu saja ), Kartini dan kita juga sama-sama menderita hal populer yang disebut Galau. Kalau sedang mengalami kegalauan, kita bisa langsung curhat di status FB atau berkicau di twitter. Nah, hal yang sama juga menimpa Kartini. Karena Internet belum ada pada zaman itu, maka Kartini yang galau langsung menulis surat kepada para sahabatnya: Stella Zeehandelaar, Nyonya Abendanon, dan Ny. Van Kool. Curhat Kartini dalam surat-surat itu kemudian dikumpulkan oleh Tuan Abendanon dan dijadikan buku yang kita kenal dengan judul "Habis Gelap, Terbitlah Terang". Lewat tulisannya, Kartini langsung dinobatkan sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia. Ia dijadikan Pahlawan dan dibuatkan hari besar untuk memperingati jasa-jasanya. Semuanya itu berawal dari rasa galau dan keinginan untuk curhat. Lalu kenapa seorang tukang curhat seperti Kartini bisa menjadi Pahlawan Nasional ? Mengenai kepahlawanan Kartini memang mengundang pro dan kontra di kalangan perempuan

Tautan
Tautan
sendiri. Pantaskah Kartini disebut pahlawan ? Pahlawan macam apa yang berkoar-koar lalu menyerah pada sistem? Kartini memang berbeda. Ia melawan dalam diam. Ia tidak berjuang dengan senjata atau bermandi darah. Ia hanya mampu melawan dengan ujung penanya. Usaha kongkrit yang dilakukannya adalah membuat sekolah kecil agar perempuan-perempuan yang tinggal di sekitarnya dapat mengecap pendidikan walaupun hanya untuk sekedar baca-tulis. Banyak pahlawan perempuan yang mati dalam medan pertempuran demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun yang berjuang untuk nasib perempuan sendiri hanya sedikit. Sejarah mencatat, bahwa Kartini-lah yang pertama kali memikirkan nasib kaum perempuan pada zaman itu. Ingat! pada masa Kartini hidup belum ada organisasi yang mampu mewadahi bumiputera untuk melawan penjajah dalam ranah intelektualitas. Budi Utomo sebagai organisasi pertama bumiputera lahir empat tahun setelah Kartini wafat. Maka Kartini sudah tentu tidak punya wadah untuk melawan sistem yang ada. Ia hanya mampu menuliskan kegelisahannya, menuliskan pemikirannya, dan tentu saja curhat yang melahirkan gagasan-gagasan hebat bahwa pendidikan adalah kunci bagi majunya sebuah bangsa. Dalam hidupnya, Kartini juga banyak mendapat kekecewaan. Ia tidak  mendapatkan restu Ayahnya untuk sekolah ke Belanda hanya karena ia perempuan. Budaya Jawa bagi Kartini adalah penjara untuk maju dan berkembang. Kartini juga hanya bisa pasrah ketika akhirnya dinikahkan dengan Raden Mas Ario Joyodiningrat. Ia juga hanya bisa diam ketika suaminya berpoligami ( mengenai budaya Jawa tentang gundik dapat dibaca dalam novel "Gadis Pantai" karangan Pramoedya Ananta Toer ). Kartini mengajarkan kita melawan dengan cara lain. Bukankah lewat tulisan kita bisa melawan? Bukankah hanya dengan status dan kicauan twit pun kita bisa melawan ? Lalu apa yang dilawan ? Hanya Perempuan sendiri yang tahu apa musuh terbesarnya. "...Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih suka dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula." ( Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902 ) Selamat Hari Kartini, 21 April 2011 Saya lebih suka menyebutnya Hari Perempuan Nasional. ^^ PS : Marilah menggunakan kata "Perempuan" yang berarti empu, pemilik. Ketimbang "Wanita" yang berarti betina, pelayan, binatang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun