Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Manusia Plastik

18 September 2021   23:44 Diperbarui: 18 September 2021   23:50 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan sampah plastik yang berada di TPA Supit Urang, Kota Malang, Senin (24/6/2019) from: surya.co.id

Tubuhnya lentur. Fleksibel. Sendi-sendinya seperti longgar. Bahkan bukan hanya sendi. Tulang-tulangnya mampu bengkok ke sana, dan ke mari. Oleh kawan-kawannya dia disapa Matik. Manusia plastik. 

Matik, sejatinya terlahir normal, sebagaimana layakbya manusia normal, meskipun lahirnya di sebuah gubuk, dekat TPA. Tempat pembuangan akhir segala limbah. Termasuk plastik yang diproduksi ribuan rumah dan jutaan penduduk kota itu. Ayah dan ibu Matik adalah pemulung yang hidupnya menggulung di hamparan sampah. Kata orang, kisah cinta mereka berawal dari TPA. 

Sejak kecil ayah dan bunda Matik telah hidup di bumi sampah. Untung saja cinta mereka tumpah ke dalam secangkir asmara yang mereka seruput bersama. Di atas gunungan sampah. Secangkir asmara menjelma menjadi sumpah, sehidup semati bahagia, di bumi sampah. 

Matik. Manusia plastik. Tumbuh kembang menjadi dewasa. Masih melanjutkan peofesi ayah-bunda memulung sampah. Terutama plastik. Bisnis yang menjajikan. Saban hari selalu ada plastik. Dari hajatan sampai hajat selalu ada plastik. Mungkinkah manusia-manusia mengunyah plastik? Mungkin saja. Di sepotong koran bekas, Matik membaca berita tentang adanya beras plastik.

"Ups. Jangan-jangan bubur bayi yang selama ini aku makan, adalah bubur plastik. Beras plastik dan bumbu-bumbu plastik."

Matik penasaran dengan tubuh plastiknya. Sampai lapar membawanya pulang. Tiba di rumah gubuknya, dijumpai bunda sedang menyiapkan masakan. Disekelilingnya bertaburan plastik warna warni. Tentu saja plastik bekas. 

"Kita kehabisan makanan. Mari kita daur ulang plastik jadi makanan. Putih kita jadikan beras. Singkirkan yang merah, bunda benci darah. Lagipula, takut dianggap kita memasak bendera merah putih. Hijau kita jadikan rempah," ungkap bunda. 

Matik hanya terdiam. Sedih. Air mata plastik jatuh di hamparan plastik yang memenuhi lantai gubuk derita.

Matik lari ke luar gubuk. Panas mentari hari itu luar biasa. Dibakarnya tubuh plastik itu, perlahan namun pasti. Tubuh itu meleleh. hancur, lebur. Menjadi peringatan: berhentilah membuang sampah plastik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun