Saya mikir sejak 3-4 bulan yang lalu,”Siapa ya pendeta-pendeta yang bakal terang-terangan dukung lawannya Ahok ?” Pilpres 2014 menunjukkan rohaniwan Kristen dengan senang hati mengatakan bahwa tukang culik yang beberapa bulan menunggak pembayaran gaji karyawannya telah ditunjuk Tuhan untuk memimpin negeri ini. Kalau berpikir pake ‘logika’ kayak gitu, kita akan menyimpulkan bahwa jika seseorang yang tangannya berlumuran darah rakyat layak memimpin 200an juta warga, maka semua lawan Ahok tentu pantas untuk memimpin Jakarta yang hanya berisi 7 juta orang.
Sepak terjang Ahok bisa dibilang sangat kristiani,islami, buddhis dan juga hinduis. Nggak bertentangan dengan ajaran universal agama manapun. Semua agama mengajarkan anti korupsi, Ahok anti suap. Semua agama mengajarkan cinta kasih. Ahok mengasihi rakyatnya sampai rela mati dan siap menghadapi kemungkinan istrinya dibunuh serta anaknya diculik. Semua agama mengajarkan keberanian, ya kita ngertilah mutu Ahok di hal kayak gini.
Eh, tapi semua agama ‘kan ngajarin orang untuk ngomong sopan, Ahok nggak sopan ? Inti ajaran Kristen tentang sopan santun adalah kesopanan itu sangat penting tapi kalau itu menghalangi kita dari kejujuran, pilihlah untuk bertindak jujur, bukan bersopan-ria. Yesus adalah Sosok yang sopan, maha pengampun dan maha pengasih tapi Dia datang ke dunia bukan untuk bersikap manis terhadap kejahatan. Yesus mendobrak norma yang berlaku umum saat itu. Dia melawan status quo. Dia membentak. Dia menebalikkan meja.. Ia kasar lho waktu memaki para munafik, antara lain pake kata ‘ular beludak’. Prinsip ‘sopan tapi liat-liat sikon’ macam ini mewujud dalam tindakan Ahok. Beliau ngamuk, hingga memukul kap mobil, kepada seorang pengacara yang memanfaatkan nenek tua renta agar pengacara itu dapat untung dalam kasus sengketa tanah. Beliau memaki perampok rakyat. Toh hingga hari ini tetap rombongan anak TK dan SD bergantian datang ke Balai Kota dan gerombolan selfie bareng Ahok jumlahnya tambah banyak.
Dengan segenap keterbatasannya, Ahok berusaha menjalankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Beliau ngotot untuk tetap kafir tapi banyak membangun masjid. Beliau dimaki buruh namun menyediakan air wudhu saat mereka demo supaya yang Muslim bisa sholat.
Oleh karena itulah, menarik untuk mengamati para pendeta yang mendukung Adhyaksa.
Pendeta punya hak pilih namun sebaiknya nggak menunjukkan pilihannya di depan umum karena hal ini berpotensi menyebabkan perpecahan mengingat mereka mengayomi jemaat yang pilihan politiknya berbeda-beda. Untuk mereka yang mikir,”Lebai ah, masa’ gitu aja bisa pecah, cemen ih”. Emang cemen. Browsing urusan pendeta di Pilpres 2014 gih sono.
Semua orang secara individual boleh berpolitik praktis tapi bagi pendeta sulit sekali bisa berpolitik dengan cara 100% melepaskan diri dari gerejanya. Karena jika berpolitik praktis emblem gereja tetap melekat di dadanya, keberpihakan pendeta itu terhadap partai tertentu bisa punya dampak terhadap lembaga tempat pendeta itu bernaung. Pilihan politik pribadinya bisa dianggap mewakili pilihan politik gereja. Tentu saja gereja tak boleh steril dari permasalahan sosial politik karena Tuhan kerja di semua aspek termasuk politik. Gereja harus memberikan panduan tentang ciri-ciri tokoh yang sebaiknya jemaat dukung dengan mengaitkannya ke Pancasila dan UUD ’45 (Gereja Katolik dan beberapa gereja Protestan adalah contoh yang keren). Rohaniwan bisa mendorong jemaat untuk terjun ke politik serta saat khotbah mengintegrasikan masalah sosial politik dengan ayat yang dibahas agar yang disampaikan tidak melulu tentang surga dan neraka namun juga mengenai dunia: Membumi dan kontekstual.
Para pendeta pendukung Adhyaksa melangkah lebih jauh: Memproklamirkan pilihan politik mereka. Jelas mereka tak tahu, pura-pura tak tahu, lupa atau pura-pura lupa akan hiruk-pikuk memalukan yang ditimbulkan oleh para pendeta di pilpres 2014.
Tapi ya udahlah, udah terlanjur. Sekarang akan lebih menarik untuk meneropong proklamasi dukungan para pendeta terhadap Adhyaksa. Mendukung orang hanya karena ia seagama dengan kita adalah hal yang amat bodoh tapi mendukung seseorang yang agamanya berbeda hanya karena ingin kelihatan toleran dan demokratis tentu saja sama bodohnya. Apa jangan-jangan malahan lebih bodoh.
Kalau kita ingin tahu tentang karakter seseorang, berilah dia kekuasaan, kata Lincoln.
Sejauh ini Adhyaksa tak punya catatan korupsi tapi prestasi dia di bidangnya tak cemerlang seperti prestasi Ahok di bidangnya. Saat Adhyaksa jadi Menpora, korupsi PSSI tak tersentuh. Dia nggak korupsi tapi mendiamkan orang korupsi dalam kondisi sesungguhnya dia punya kuasa untuk melakukan tindakan.