Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Muslim Berkelana (bag. 2): Dari Palestina ke Amerika

10 Maret 2017   18:51 Diperbarui: 11 Maret 2017   20:00 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: The Ann Harbor News)

Sekitar 6000 kilometer dari Swedia, 14 bulan kemudian saya di Boston. Long story short, dalam perjalanan ke bandara Logan International Airport, saya ngobrol dengan bapak driver yang berasal dari Palestina. Karena melihat saya berhijab, ia jadi banyak bercerita dengan penuh semangat. Semangat yang lebih besar dari si Ali asal Perancis. Sebut saja namanya Ahmad. Pak Ahmad bekerja sebagai sopir shuttle di sebuah hotel bintang 3 di Boston. Bahasa Inggris dia lancar dan native-like. Saya tidak ingat pasti sudah berapa tahun ia tinggal di Amerika Serikat. Ia tinggal di Amerika Serikat bersama istri dan 3 orang anaknya yang berusia, 7, 9 dan 11 tahun. Dari cerita beliau nampaknya semua anaknya lahir di Amerika Serikat. Perjalanan ke bandara hanya berjarak sekitar 15 menit dari hotel dan karena masih sangat pagi jadi tidak ada kemacetan. Kebetulan di shuttle tersebut saya sendiri dan flight ngga terlalu mepet.

Dia membuka pembicaraan: "Saya ingin bertanya...Saya pernah lihat acara lomba baca Al Quran di TV. Ada anak Indonesia usia 5th, bisa membaca dengan baik dan hafal Al Quran. Bagaimana anak2 Muslim di Indonesia diajari membaca Al Quran? Saya ingin anak-anak saya bisa membaca Al Quran seperti itu." Saya dengan jujur bilang bahwa tidak semua anak juga menghafal Al Quran seperti demikian. Anak yang mengikuti lomba baca Al Quran tersebut pastilah pilihan. Namun di Indonesia memang banyak grup-grup membaca Al Quran, sekolah-sekolah Islam dan juga pesantren yang di semuanya mengajarkan membaca Al-Quran sejak dini. Dia lalu menceritakan bahwa anak-anaknya dia leskan membaca Al Quran. Di sekolah, yaitu public schools di Boston, kebetulan sekali sekolahnya mempunyai guru Bahasa Arab dari Palestina juga. Ia merasa sangat beruntung. Di ruang kelas belajar bahasa Arab, sang guru bahkan menempelkan bendera-bendera Palestina, agar anak-anak tahu bahwa Palestina itu 'ada'. Iya, Pak Ahmad bercerita, suatu hari, putrinya pulang ke rumah dengan marah. Saat ia tanya mengapa, sang putri bercerita bahwa hari tersebut ada pelajaran Geografi dan ia tidak menemukan negara Palestina di peta. Pak Ahmad lalu berkata, "Begini saja, buka peta di bukumu, tandai negara Palestina dan gambari dengan benderanya. Besok kau datang ke sekolah tunjukkan kepada teman-temanmu dimana itu Palestina." Trenyuh saya mendengarnya. Pak Ahmad mengakui bahwa ia belum menceritakan keadaan di Palestina pada anak-anaknya, ia menunggu waktu dan pemahaman yang tepat dari anak-anaknya. Apalagi mereka tinggal di negara yang merupakan aliansi Israel. Tentu bukan hal mudah menjadi orang tua seperti Pak Ahmad.

Hilangnya Palestina dari Peta Dunia (photo credit: hrj palestine dot org)
Hilangnya Palestina dari Peta Dunia (photo credit: hrj palestine dot org)

Perjalanan kami ke bandara sebenarnya hanya ditempuh dalam waktu 15 menit, namun saat sudah sampai bandara, Pak Ahmad memutar mobilnya agar bisa bercerita lebih banyak. Saya hanya tersenyum dan meneruskan pertanyaan, tentang bagaimana hidup di Amerika Serikat terutama setelah Trump menjadi presiden. Ia dengan semangat menyala menceritakan:

"Semua orang itu di sini (Boston) benci Trump! Semua! Tahu ngga waktu setelah Trump menandatangani Executive Order itu, setelah itu...langsung walikota di Boston datang ke sini (bandara) membolehkan orang untuk masuk ke Boston. Karena ini wilayahnya dan ia tidak setuju dengan Trump!* Di rumah-rumah, orang memasang tulisan-tulisan "We are Muslims" meski mungkin mereka ngga ngerti Islam." Ia merasa bersyukur tinggal di Boston dengan lingkungan yang cukup welcome terhadap migran Muslim. Ia juga menceritakan bahwa di sekolah anaknya memang disediakan bahasa tambahan yaitu bahasa Arab, selain itu saat ada isu terorisme ISIS dan sebagainya, anak-anak diajak berdiskusi agar mereka bisa memahami siapa teroris itu, sehingga tidak sempat kebablasan membuat generalisasi terhadap agama tertentu jika mengikuti berita di media. Mereka diajak diskusi dan menggali, bukan menutupi sehingga menjadi tabu dan salah mengerti. Pak Ahmad merasa anak-anaknya pun tidak mengalami bullying yang berarti. 

Masih baanyaaak pertanyaan dan cerita yang ingin saya gali lagi dari Pak Ahmad. Namun shuttle akhirnya berhenti di depan pintu keberangkatan maskapai United. Setelah ia menurunkan koper, di situ kami berpisah.

*berita tentang reaksi walikota Boston terhadap Trump's ban bisa dibaca salah satunya di sini: https://www.boston.com/news/politics/2017/01/25/boston-mayor-marty-walsh-responds-to-donald-trumps-executive-order-on-sanctuary-cities

Cerita Pak Ahmad memberikan gambaran secuplik kepada kita tentang kehidupan Muslim Palestina di perantauan sebagai minoritas di Amerika, di tengah kondisi politik yang tidak stabil dimana isu-isu agama kencang dihembuskan. Sebagai orang tua, concern beliau sama dengan mereka di Indonesia yaitu agar anak-anaknya tetap memiliki nilai-nilai keIslaman, juga memahami identitasnya sebagai seorang Palestinian. Palestina mungkin bisa 'dihapus' oleh Israel dari peta, tapi semangat-semangat seperti Pak Ahmad dan keluarga tidak pernah pupus. Jika Palestina tidak ada di peta, maka mereka akan terus menggambar sendiri bendera Palestina di sana. Sementara itu, Boston, melalui kacamata Pak Ahmad, adalah kota yang cukup bersahabat untuk migran dengan besarnya dukungan dan toleransi dari pemerintah kota Boston dan kelompok mayoritas. Hubungan antara mayoritas dan minoritas ini bisa menjadi gambaran bahwa tidak pernah mudah menjadi minoritas dan di situlah peran mayoritas sangat dibutuhkan.

Bersambung...

Boston, Feb 2017

Mutiara Me 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun