Penelitian tentang gender dan anak-anak memang belum terlalu banyak ada. Di Indonesia sendiri, hal ini masih menjadi hal tabu untuk diperbincangkan. Namun penting untuk para orang tua dan banyak orang mulai memahami apakah itu genderless atau ungendering, untuk bisa menyikapi fenomena yang dengan deras mengalir melalui media, wacana, karya seni, fashion, musik dan sebagainya. Jika kita tidak tahu, kita tidak akan sadar apakah kita sedang mendukungnya dengan membuka keran-keran akses untuk keluarga ataukah sebaliknya.
Desember lalu di Stockholm. Saya bersama dua orang mahasiswa S3 yang saling baru kenal, satu dari Italia sebut aja A, satu dari Swedia sebut aja B. Mereka mengobrol santai:
A: oh wow, you've had a kid already? (oh kamu sudah punya anak)
B: yea, I have one child (iya aku punya satu orang anak)
A: son or daughter? (anak laki-laki atau perempuan?)
B: (Silent)... I'd rather not saying it... (aku memilih untuk tidak menyebutnya...)
A: (interrupted) oh..sorry.. (oh maaf)
B: ...it is up to my child later to decide... either being a boy or a girl. (...terserah dia mau memutuskan...mau jadi laki-laki atau perempuan)
A: oh..Ok..
(awkward silence)
Inti dari 'ungendering' ini seperti digambarkan pada dialog di atas, adalah bahwa gender itu tidak boleh didefinisikan dan ditentukan dari keadaan biologis bahkan sejak anak-anak dalam kandungan. Meskipun kondisi biologisnya X, anak boleh menjadi Y jika mau. Orang tua disebutkan untuk bersikap netral, dari warna klasik pink-biru untuk perempuan dan laki-laki, sampai dengan tidak menyebutkan 'laki-laki atau perempuan' atau menyematkan atribut atau nilai-nilai khusus yang berhubungan dengan gender tertetu.
Kalau dalam bahasa Iqi Qoror: "manusia berkuasa atas dirinya sendiri" bahkan sejak bayi. Iqi membuat pameran berjudul 'Family Gray Diary' bertema genderless pada tahun 2012 sebagai bagian dari penyelesaian gelar magisternya di bidang Seni Rupa di Yogyakarta. Pada kesempatan yang sama, musisi Djaduk Ferianto yang didaulat untuk membuka pameran itu menyempilkan kritik atas karya Iqi, "Ruang imajinasi itu bentuk keliaran yang patut dipelihara. Tapi dunia seni Indonesia mestinya berpihak pada tanah air,” kata Djaduk. (sumber: tempo.co)
Sebetulnya sudah lama "kebebasan" tentang gender ini disuarakan. Manifestasi tentang genderless (tanpa gender) dan ungendering (tidak men-gender-kan) ini sudah bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari terutama gaya berbusana genderless yang semakin merebak. Gaya berbusana genderless disebut dengan istilah androginy. Istilah ini berasal dari Bahasa Yunani, Andro dari kata 'andros' sendiri bermakna male (laki-laki), dan giny dari kata 'gyne' mempunyai makna female (perempuan). Ini adalah gaya berbusana yang unisex dan tidak menggambarkan gender tertentu. Siapa yang memakai pakaian androginy?
Siapa saja yang merasa ingin dan nyaman dengan style tersebut, dan seringnya adalah mereka yang terlahir sebagai laki-laki atau perempuan namun tidak nyaman dengan pakaian yang 'biasanya' dipakai untuk jenis kelamin tersebut. Model internasional yang terkenal sebagai model androginy adalah Andreja Pejic, yang berjenis kelamin pria dan melakukan transgender menjadi wanita pada tahun 2014. Adapula Ruby Rose yang mengalami peperangan batin sebagai wanita tapi tidak nyaman bergaya feminin. Selain itu Erika Linder dari Stockholm, wanita ini diceritakan tomboy pada waktu kecil, dan memilih untuk menjadi model genderless. (sumber: bobobobo.com) Di Indonesia, ada Darrell Ferhostan, yang terlahir sebagai pria dan disebut sebagai model androginy pertama di Indonesia. Darrell menjadi model pria dan wanita.
Apakah genderless ini berhubungan dengan fenomena LGBT? Tidak mudah kita mengklaim adanya hubungan gender dan orientasi seksual, namun genderless NAMPAKNYA memang menjadi salah satu faktor 'pendukung' fenomena LGBT, dengan konsep nil-batas identitas gender maka siapa saja bisa menjadi apa saja dan menyukai siapa saja. Namun menjadi genderless TIDAK berarti menjadi LGBT. Seperti Darrell Ferhostan mengaku ia tidak setuju disamakan dengan mereka yang melakukan transjender karena ia nyaman menjadi pria ataupun wanita.
Nah, apakah anda setuju dengan genderless, ungendering ataukah dengan gendering? Apakah konsep ini baru menurut anda dan anda yakin ini belum memasuki kehidupan kita? Mari kita lihat di sekitar kita dari keluarga kecil kita, pakaian tokoh-tokoh dalam film-film kartun ataupun acara musik yang ditonton kita dan anak-anak kita setiap hari, apakah ini semua mengemban misi genderless atau bahkan LGBT?
Saat saya menonton acara TV di Austria, hampir semua acaranya 'asing' buat saya, bukan hanya bahasanya. Saat pindah ke channel A, ada serial tentang pasangan gay dan kehidupannya sehari-hari, pindah ke channel B, ada iklan komersial dengan manusia-manusia bertelanjang dada tidak jelas gendernya, saat pindah ke channel C ada film The Simpsons dan segala adegan vulgarnya. Di Indonesia mungkin belum se-ekstrim ini karena masyarakat 'tidak' atau 'belum' menerimanya, namun justru lebih berbahaya jika konsep ini disisipkan dengan samar dalam tayangan-tayangan TV kita sehari-hari, dan orang tua tidak menyadarinya.