Bekasi - Acara yang diawali dengan do'a bersama, serta menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan Laporan Ketua Panitia, Erna Setiyawati, SE., S.Ag.Kes- yang juga Pimpinan Daun Mas, berlanjut dengan Dialog Interaktif bersama dengan Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan RI., Dr. dr. Ina Rosalina. Sp.A (K), M. Kes., MH.Kes. yang pada sebelumnya telah diawali oleh Kasubdit Yankestrad Integrasi Kemenkes RI., Dr. Gita Swisari, MKM., di Hotel Amarossa Grande Bekasi. dengan tema "Harmonisasi PP 103 Tahun 2014" Dalam Pelayanan Kesehatan Tradisional Indonesia.(27/12/2018)
Bertindak sebagai moderator Dr. Inggrid Tania, M.Si. Herbal, memandu diskusi yang berlangsung dinamis, berharap ke depan dapat ditemukan solusi yang dapat memberikan ruang yang luas terhadap kiprah para praktisi pengobat tradisional Indonesia. didukung oleh Daun Mas, Mahkota Dewa Indonesia dan Vermindo Internasional serta Martina Berto.
Sebelum Kasubdit Yankestrad Integrasi Kemenkes RI., Dr. Gita Swisari, MKM., dan Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan RI., Dr. dr. Ina Rosalina. Sp.A (K), M. Kes., MH.Kes. melakukan dialog interaktif dengan 60 peserta yang hadir, diantaranya para dokter dan para wakil organisasi profesi pengobatan tradisional Indonesia, terlebih dahulu membacakan "Masukan Orpro Tentang PP 103 Tahun 2014 - Pelayanan Kesehatan Tradisional Indonesia".
1. Sumber Daya Manusia (Pasal 30 Ayat 3): penyehat tradisional yang merupakan tenaga kesehatan harus melepaskan profesinya sebagai tenaga kesehatan. Tidak setuju apabila gelar keilmuan kedokteran dilepaskan, ketika menerapkan pengobatan tradisional, karena dalam memberikan obat tradisional, disamping pengobatan konvensional, dokter berperan sebagai tenaga kesehatan tradisional integratif.
Obat tradisional digunakan dalam upaya promotif, preventif dan rehabilitatif, disamping obat konvensional, sebagai bentuk pelayanan kesehatan yang komprehensif, sekaligus melestarikan budaya bangsa.
2. Sumber Daya Manusia (Pasal 31 Ayat 2) : tenaga kesehatan tradisional adalah tenaga kesehatan yang ilmu dan keterampilannya diperoleh melalui pendidikan tinggi di bidang kesehatan paling rendah D3.
Sulit dipenuhi sebelum tahun 2020, karena keterbatasan jumlah penyelenggara dan kuota pendidikan formal D3, misalnya untuk akupunktur hanya ada dua penyelenggara pendidikan D3 terakreditasi, yaitu: Poltekes Solo dan Malang, dengan kapasitas @ 100 orang/tahun, maka hanya dapat meluluskan 200 orang/tahun, sementara akupunkturis berjumlah ribuan.
Untuk mengatasi hal tersebut, diusulkan, agar penyelenggaraan pendidikan non-formal terakreditasi dibuat kesetaraannya dengan pendidikan formal D3, karena saat ini banyak (misalnya kursus akupunktur berjumlah ratusan dan telah menghasilkan ribuan akupunkturis profesional), lembaga tersebut telah terdaftar di Kemendikbud dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Pendidikan non-formal tersebut, dalam menyelenggarakan pendidikan dan ujian kompetensi berstandar khusus yang ditentukan atas kerja sama dengan Kemendikbud, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan. Pasal 36 Ayat 2 mendukung hal ini.
Diusulkan, agar praktisi senior/berpengalaman luas yang terkena dampak peraturan diberi kesempatan untuk tetap bermanfaat, misalnya dengan mendapatkan gelar khusus atau penyetaraan pendidikan masa lalu yang diperoleh melalui kursus, seminar dan pengalaman sebagai praktisi, serta dapat menjadi dosen luar biasa di institusi pendidikan formal.
Apabila hal-hal tersebut terabaikan, dikhawatirkan akan timbul pengangguran dalam skala besar dan kesenjangan pelayanan kesehatan tradisional. Dengan adanya kebebasan pasar global, dikhawatirkan bahwa pangsa pelayanan tersebut berpindah tangan ke WNA/Luar Negeri.
3. Alat dan Obat Tradisional (Pasal 23 Ayat 2 dan 3 serta Pasal 24 Ayat 1): penyehat tradisional dilarang menggunakan alat kedokteran dan penunjang diagnostik kedokteran, serta penggunaan alat dan teknologi tersebut harus memiliki izin dari Menteri; untuk tenaga kesehatan tradisional: dilarang menggunakan alat kedokteran dan penunjang diagnostik kedokteran, kecuali yang menggunakan sesuai dengan metode, kompetensi dan kewenangan.
Hampir semua praktek penyehatan memakai alat pengukur tekanan darah dan alat pemeriksaan kadar gula darah, kolesterol dan asam urat yang dijual bebas dan dipakai oleh masyarakat umum sebagai alat pemantauan dan acuan pengobatan penyehat/tenaga kesehatan tradisional selayaknya dibolehkan menggunakannya seperti hak yang di berikan kepada masyarakat umum.
Perlu ada penjelasan yang bersifat spesifik tentang alat kedokteran dan penunjang diagnostik kedokteran yang tidak boleh digunakan oleh penyehat/tenaga kesehatan tradisional.
Terhadap hal-hal yang mana di dalam peraturan masih menjadi kendala bagi para organisasi profesi pengobatan tradisional Indonesia dan anggotnya, maka pihak Kemenkes RI. membuka diri untuk menerima masukan-masukan yang komprehensif dan melakukan dialog lebih lanjut.
Hal itu, dalam rangka memberdayakan potensi keahlian Pengobatan tradisional Indonesia, agar aman, dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. (Red)