Mohon tunggu...
Media LaWas
Media LaWas Mohon Tunggu... -

Majalah Lawas yang dikelola mahasiswa/i Sejarah USD

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masyarakat Tionghoa Pontianak

27 Desember 2014   04:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23 4977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pontianak merupakan Ibu Kota Provinsi dari Kalimantan Barat dan menjadi salah satu kota yang dilewati Garis Khatulistiwa. Hal tersebut menyebabkan Kota Pontianak dikenal sebagai Kota Khatulistiwa. Kota Pontianak sendiri berdiri pada 23 Oktober 1771, didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal,

Kota Pontianak didiami oleh berbagai etnis, diantaranya ada etnis Melayu, Tionghoa, Dayak, Jawa, dan Mandura. Berdasarkan sensus pada tahun 2000 melaporkan bahwa masyarakat Tionghoa di Kota Pontianak lebih mendominasi dengan presentasi 31,2%, Melayu 26,1%, Bugis 13,1%, dan Jawa diangka 11,7%.[i] Dengan adanya data semacam itu, saya akan mencoba membahas tentang sejarah masukan dan berkembangnya etnis Tionghoa di Kota Pontianak.

Sejak abad ke-3, orang-orang Tionghoa telah berlayar ke Malaka dan juga Nusantara untuk berdagang. Rute pelayaran menyusuri wilayah pantai Asia Timur dan kembali ke Cina melewati pulau Kalimantan bagian barat dan Filipina. Rute itu muncul karena pada zaman itu sistem pelayaran yang sangat bergantung pada arah angin.[ii] Beberapa tahun kemudian imigran-imigran dari Cina mulai menetap di kawasan yang disebut “Distrik Tionghoa” dan di kota Pontianak. Jumlah imigran-imigran Tionghoa yang cukup besar telah menciptakan sebuah kebudayaan khusus di distrik-distrik Tionghoa di Kalimantan Barat.

Orang Tionghoa di Kalimantan Barat memiliki karateristik yang berbeda dibandingkan masyarakat Tionghoa Indonesia lainnya. Kebanyakan dari mereka bukanlah pedagang yang sukses, melainkan pedagang kecil, pemilik toko, nelayan dan petani. Beberapa orang Tionghoa di Kalimantan Barat hidup sederhana bahkan banyak di antaranya adalah penduduk miskin.

Seperti yang dikatakan Mary Somers, “orang Tionghoa di Kalimantan Barat bukan “penyinggah” atau orang-orang yang hanya tinggal untuk sementara, karena Orang Tionghoa di Kalimantan Barat mempertahankan kebudayaan asli Tionghoa mereka”. Selain itu mereka juga masih menggunakan bahasa Tionghoa secara turun termurun. Hal ini lah yang membuat mereka berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya dalam segi penggunaan bahasa sehari-hari. Dikarenakan kebanyakan etnis Tionghoa yang berada di pulau Jawa, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah di tempat mereka bermukim untuk berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa.[iii]

Awal kedatangan orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 di Kalimantan Barat dikarenakan paksaan dari pekerjaan menjadi buruh tambang dan perkebunan. Para imigran Tionghoa ini mengatur sendiri jadwal kedatangan mereka sehingga perbedaan antara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dengan Tionghoa yang berada di daerah lainnya berbeda.

Kelompok imigran terbanyak di Kalimantan Barat adalah orang Tionghoa bukan dari kalangan suku lain Negara Indonesia. Hampir semua orang Tionghoa yang bermigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari provinsi Guangdong, Tiongkok selatan, sisanya orang-orang Hokkien dari propinsi Fujian. Bahasa Tionghoa yang mereka gunakan pun beragam diantaranya ada Hakka, Teochiu, Kanton dan Hainan.

Dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan Hakka. Orang-orang Teochiu berasal dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong dan orang Hakka berasal dari pedalaman Fujian datang ke Kalimantan Barat dengan penggunaan bahasa yang sama. Kelompok Hakka merupakan kelompok perintis yang tinggal di perkampungan dan daerah pertambangan untuk bekerja sebagai penambang, berladang dan juga menjadi pedagang kecil. Berbeda halnya dengan kelompok Teochiu yang lebih memilih untuk tinggal di perkotaan untuk berdagang, bahkan kini kelompok Teochiu membentuk populasi terbesar etnis Tionghoa di kota Pontianak dan daerah Selatan Pontianak. Kelompok Hakka sendiri menempati daerah Utara kota Pontianak.

Sejak tahun 1811 Pontianak merupakan kota transit orang-orang Tionghoa ketika datang ke Kalimantan Barat, yang nantinya akan menyebar ke daerah-daerah pedalaman sekitarnya. Berdasarkan penelitian Burn yang dikutip oleh Mary Somers, menyatakan bahwa Pontianak pada saat menjadi pusat perdagangan di pantai Barat merupakan kota dengan banyak penyedia jasa. Orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi kota Pontianak, namun tidak semua dari mereka adalah pekerja keras, atau sehemat dan sekaya pedagang Bugis. Jumlah populasi orang Bugis yang hidup bersama dengan orang Tionghoa berkisar antara1000-an orang ditambah jumlah orang melayu sekitar 3000-an orang dan 100-an orang Arab.[iv] Kebanyakan para buruh Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan-makanan enak, berjudi dan menghisap candu. Hanya sedikit buruh yang menabung hasil kerjanya untuk biaya kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirim uang kepada keluarganya di sana.

Etnis Tionghoa membentuk pusat perdagangan di kota yang terletak di tepian sungai Kapuas ini. Selain sebagai tempat berdagang, pasar yang dibangun itu juga digunakan sebagai tempat tinggal. Tidak hanya di kota Pontianak, permukiman Tionghoa dan pusat perdangan pun juga ada di Kampung Baru (sekarang bernama Siantan).

Pemilihan tempat tinggal juga bagian dari karakteristik para imigran etnis luar Indonesia. Seperti orang-orang Tionghoa yang tinggal terpisah dengan orang-orang Melayu dan Arab Orang-orang Melayu dan Arab cenderung memilih bermukim dekat dengan istana sultan yang terletak di antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hal ini tidak hanya terjadi di kota Pontianak saja, melainkan di kota-kota kecil di Kalimantan Barat.

Hingga saat ini pun orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat khususnya kota Pontianak sendiri, masih hidup secara berkelompok. Namun, tidak jarang pula sebagian dari mereka sudah dapat membaur dan tinggal di satu daerah dengan orang-orang Melayu, Arab dan Bugis. Sampai saat ini pun mereka masih bekerja sebagai pedagang dan penyedia jasa yang sukses.

Daftar Pustaka

Buku :

Mary Somers Heidhues. Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa” Kalimantan Barat. Jakarta : Yayasan Nabil. 2008.

Internet :

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=264&wid=6100000000.(Diakses pada 01 Desember 2014)

http://infopontianak.org/sejarah-lengkap-kaum-tionghoa-masuk-ke-kalimantan-barat/ (Diakses pada 1 Desember 2014).

[i] Situs Badan Pusat Statistik  http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=264&wid=6100000000

[ii] Sejarah Lengkap Kaum Tionghoa Masuk ke Kalimantan Barat http://infopontianak.org/sejarah-lengkap-kaum-tionghoa-masuk-ke-kalimantan-barat/

[iii] Mary Somers Heidhues. Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa” Kalimantan Barat. Jakarta : Yayasan Nabil. 2008. hlm:xvi.

[iv] Ibid…hlm:61.

Fattoni Nugraha


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun