Pernah nggak sih, ngerasa jadi mahasiswa paling tangguh sedunia sampai suatu hari laptop tiba-tiba mati pas saat besoknya harus banget bimbingan? Di momen itu, baru deh sadar: yang darurat bukan cuma skripsi yang mesti dikumpulkan, tapi juga kondisi keuangan sendiri. Kebanyakan dari kita hidup dengan filosofi "yang penting masih ada saldo di m-banking". Rasanya aman, padahal belum tentu. Sekali aja ada pengeluaran mendadak kayak laptop mendadak ngambek, charger kebakar, ban motor bocor, atau kucing kos sakit, semua rencana keuangan langsung berantakan kayak file skripsi yang belum sempat di-backup.
Riset dari STIE Ciputra Makassar juga menarik. Katanya, kebiasaan bikin dana darurat dipengaruhi literasi finansial, gaya hidup konsumtif, dan peran orang tua. Kalau uang bulanan udah habis di minggu kedua karena ngopi dan healing, ya jangan heran kalau akhir bulan tiba-tiba rajin puasa senin kamis.
Tapi dibalik semua itu ternyata ada kabar baik. Katadata dan Populix menemukan bahwa 67 persen anak muda yang mulai investasi digital punya niat bikin dana darurat. Jadi sebenarnya kesadarannya udah ada, cuma sering kalah sama notifikasi "diskon 50% hari ini aja!". Bikin dana darurat itu nggak seksi. Nggak bisa di-post di Instagram kayak "akhirnya beli saham pertama" atau "cuan naik 20% bulan ini". Tapi justru dana darurat itu penyelamat sunyi. Nggak kelihatan, tapi berfungsi banget saat dunia lagi nggak ramah.
Terkadang yang membuat mahasiwa males membuat dana darurat karena masih punya mindset "buat apa punya dana darurat, kan masih bisa minta orang tua." Nah, pola pikir ini yang bikin kita susah mandiri. Padahal, belajar tanggung jawab finansial justru penting dimulai waktu masih muda, pas konsekuensinya belum besar.
Nggak perlu muluk-muluk. Mulai aja dari sisihin 10 persen uang bulanan. Nggak harus langsung gede, tapi rutin. Karena yang bikin tenang itu bukan jumlahnya, tapi kebiasaan punya pegangan saat hal tak terduga datang.
Sekarang, dunia finansial juga udah makin terbuka buat anak muda. Banyak konten kreator dan institusi yang ngajarin pentingnya literasi keuangan dengan gaya ringan. Salah satunya Prudential Indonesia, lewat kampanye PRUteksi Finansial, Bahagia Kemudian.
Mereka ngajak generasi muda buat ngerti bahwa backup plan itu bukan cuma punya asuransi, tapi juga kesiapan mental dan finansial buat menghadapi masa depan yang nggak bisa ditebak. Dan jujur aja, itu pesannya nyantol banget buat mahasiswa. Karena hidup kita tuh sebenarnya penuh risiko kecil: tugas mepet, kuota habis, saldo minus, HP rusak. Tapi di balik semua itu, ada satu risiko besar yaitu nggak punya rencana cadangan.
Dana darurat itu bukan cuma soal "uang aman", tapi simbol tanggung jawab kecil terhadap diri sendiri. Bentuk cinta paling realistis dari mahasiswa untuk masa depannya. Karena yang namanya bahagia itu, sering kali baru terasa setelah kita belajar melindungi diri dari rasa panik akhir bulan. Mungkin di masa depan, tren finansial anak muda nggak cuma tentang investasi dan saham. Tapi tentang siapa yang paling siap menghadapi situasi darurat. Bayangin kalau nanti di tongkrongan ada yang ngomong, "Gue baru nyentuh target dana darurat tiga kali pengeluaran bulanan." Ini baru flexing yang sehat.
Karena pada akhirnya, kita nggak bisa ngatur hidup biar selalu lancar. Tapi kita bisa nyiapin diri biar nggak gampang goyah. Dana darurat mungkin nggak keren buat di-feed, tapi keren banget buat ketenangan batin. Jadi, sebelum laptop rusak, motor mogok, atau drama gak terduga lainnya, coba deh mulai sisihin sedikit aja buat "versi darurat" dari kamu. Karena di dunia yang serba nggak pasti ini, punya dana cadangan itu bukan tanda takut miskin tapi tanda kamu udah cukup dewasa buat sadar, bahwa yang paling perlu dilindungi duluan, ya siapa kalau bukan diri sendiri, Iyaa kan?
Referensi: