Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 4)

8 Januari 2010   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:34 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

04:15, saat irama Subuh berkumandang membelah kesunyian malam Hartanto terbangun. Adzan mengalun menyusuri remang-remang, menyusuri aspal-aspal yang dingin, rumah-rumah yang masih sepi, merasuk ke batin dan membangunkan orang untuk segera bangun dan bersembahyang. Semalam, Hartanto berteduh untuk sejenak di serambi masjid di daerah Sosrowijayan. Perjalanannya yang panjang dari Cangkir membuat nafasnya tersengal dan bercucuran keringat di malam yang dingin. Kemudian Ia pun memutuskan untuk sejenak berbaring dalam dahaga kantuk yang begitu hebat. Setelah muadzin selesai mengumandangkan adzan, Hartanto mengambil air wudhlu yang kemudian berdiri berjajar dengan jamaah masjid yang lain. Satu jajar tanpa tingkatan berundak. Ia berada di tengah-tengah para santri, tukang-tukang becak, orang-orang biasa, atau pendosa seperti halnya Hartanto sendiri. Bukan, ia tidak berada di dalam golongan yang bermacam-macam. Namun, ia berada di tengah-tengah saudaranya. Saudara se-agama yang diikat tanpa hubungan darah.

Setelah selesai sembahyang subuh, Hartanto kembali melanjutkan perjalanannya sambil menahan lapar dan sisa kantuk. Ia ingin berkunjung ke tempat Nandar, seorang sahabat lama yang selalu mengajarinya untuk terus bertahan dalam jalan-jalan sunyi. Setiap orang adalah seorang pengelana buta yang harus memegang tongkat agama, kata-kata Nandar yang selalu ia ingat dalam menjalani kehidupannya. Tidak lama Hartanto berjalan, ia sudah sampai di tempat pondokan Munandar.

"Assalamu'alaikum," ucap Hartanto pelan sambil mengetuk pintu.

"Wa'alaikum salam," sahut Nandar dari dalam dengan suara yang serak. "Hey, ternyata kamu, Har!" kata Nandar dengan ekspresi kaget saat menemukan Hartanto di balik pintu. "Masuk!"

"Kenapa kaget, bukankah sudah biasa aku datang sehabis subuh?" tanya Hartanto sambil melepas sepatu dan masuk ke dalam kamar Nandar.

Hartanto langsung membaringkan tubuhnya di kasur busa sambil menatap langit-langit kamar dan untuk sejenak memejamkan mata.

"Ada apa?" Tanya Nandar sambil membaca buku Warisan Sufi yang ada di tangannya.

"Apa?" Hartanto berbalik bertanya dengan malas.

"Ada apa? Kalau kamu datang sepagi ini biasanya ada masalah yang penting dan membutuhkan orang-orang pilihan." Kata Nandar sambil tersenyum lebar mengabarkan kebanggannya pada diri sendiri. "Lagi pula, sudah satu tahun lebih kamu tidak berkunjung ke sini."

"Tidak ada apa-apa!" jawab Hartanto dengan tetap memejamkan mata. "Sekedar menyambung tali silaturohmi yang sudah lama terputus." Lanjutnya dengan menghadirkan senyuman kecil di bibirnya yang kebiruan.

"Aneh kamu, Har!" Ucap Nandar sambil menoleh pada Hartanto. "Dari dulu aku tetap berada di sini, aku tidak pergi kemana-mana. Kalau dipikir-pikir, justru kamu yang menghilang, yang entah ditelan bumi mana. Tidak ada kabar. Entah, kali ini kamu telah berpijak di bumi yang mana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun