Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gadis Telanjang Itu, Sepi

23 Maret 2012   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan M.D. Atmaja

Hidup seringkali menghantarkan pada persimpangan rumit. Bukan sekedar antara kanan atau kiri. Lebih dari itu, terbangun pada jalinan kompleksitasnya benang kusut. Menjadikan pikiran yang tadinya bening untuk berubah keruh. Sampai tidak mampu berkaca di sana. Ada selintas bayang menghalangi. Merebut jernih yang lama berusaha untuk diendapkan. Saya berusaha untuk tetap waspada, memutar kembali perjalanan dan pertarungan di persimpangan. Ternyata, sudah jauh waktu melaju sampai ada yang tertinggal.

Teringat pada hari lalu disaat hati mengeras, ketika saya dan istri bergemuruh panjang. Hidup ketika itu begitu sederhana. Saya lihat dari kacamata seorang anak petani yang tidak tertalalu tinggi melambungkan mimpi. Namun, realitas meniupku ke dalam kompleksitas tersendiri. Kenyataan hidup menghadirkan suasana baru. Dahulu, pada hening malam saya memburu cahaya pengertian, pertemuan yang seringkali disebut dengan Kemesraan Pecinta. Hari ini semuanya berubah. Yang ada di benak bagaimana cara memburu kesenangan di atas dunia ini. Mencapai apa yang namanya kepuasan, kekayaan, prestise. Yah, itu yang namanya pengakuan secara “umum” dalam pandangan masyarakat di zaman modern sekarang ini.

Keengganan untuk ikut ber-urban, membawa pada kalimat tersendiri. Berangkat dari kota yang riuh dengan kepentingan menuju ke pedesaan di atas puncak yang teramat asing. Demi apa? Ada yang membisik, semua demi suaka ekonomi keluarga yang setiap harinya semakin membobot berat. Tidak! Kalau hanya masalah “uang” keluarga saya yang petani masih mampu memberikan jaminan kehidupan dengan lebih baik. Entah kekuatan apa, biar saja hanya diri dan Tuhan Semesta Alam yang mengetahui.

Di sini, di pertengahan ketinggian kini saya menjalani kehidupan. Terkurung oleh aliran sungai yang deras mengalir. Kemudian saya bersahabat dengan tanah dan air. Bersama penduduk desa menjadi petani seperti yang dahulu pernah saya impikan. Ah, masih terdengar jelas bagaimana dulu saya berteriak dalam gumaman: “Kaum tani di seluruh dunia bersatulah!” Dan kini, suara itu begitu nyata. Petani bukan lagi menjadi angan namun sudah menjadi realitas yang mengasyikkan.

Di hening desa ini, saya merasakan kerinduan pada deru debur kota yang menempa tubuh dan jiwa. Rindu pada keluarga yang menawarkan cinta juga persaingan, kemesraan sejati. Pada dua orang tua yang di detik ini kurasakan cinta mereka begitu manis dan kental. Ah, saya justru ingat dosa-dosa saya pada mereka. Di waktu yang hampir bersamaan, ingat pada ruangan kecil yang selama bertahun menjadi kamar dan ruang kerja yang pernah saya sebut dengan nama “Soenji Poestaka” atau Pustaka Sunyi. Di dalam kamar itu, ada kesunyian yang hadir menjadi guru. Mengajak untuk berdiri di tengah telaga yang ada di dalam dada. Kemudian menyaksikan sekeliling.

Di sinilah saya justru kehilangan apa yang namanya sunyi, sepi, pun juga senyap. Ada gemuruh yang tidak dimengerti. Riuh memporandakan telaga sunyi yang semasa bertahun terus diselami. Seringkali saya bertanya, “Ini menyoal apa, sampai lingkungan pedesaan yang umumnya memiliki telaga sunyi lebih luas justru riuh?” Kembali saya membuka memori lama, bersama dengan tetembangan yang begitu hening namun penuh dalam guratan tanda. Di setiap malam, ada gemerujuk air sungai Blimbing membuat saya berusaha ikut mengalir bersama air.

Seperti saat berdiri di lereng pada di bawah rimbunan bambu. Seperti terbungkam, terkucilkan, tersudut untuk sendirian. Tidak berteman sesiapa pun selain Keheningan yang merasuk di semilir angin. Merangsek, membuat rimbunan bambu menari juga berdendang dalam derit sunyi. Keheningan ini membangkitkan ruh, untuk menepi dan mencapai kejernihan dirinya. Nuansa bening yang hanya diri sendiri yang dapat menemukannya, bersama dengan diri dan Dzat Yang Satu. Dalam kesunyian itu ada kenikmatan, seperti saat nafsu lelaki menikmati seorang gadis yang telanjang. Yah, sunyi, sepi, kejernihan batin yang membuat kita mencapai kepuasan.

Di beningnya hidup, dapat kita menemukan senandung indah yang dapat membimbing kita ke puncak dimana rembulan kesemu merah, begitu manis dikecapi lidah jiwa yang dahaga pada kelembutan Cinta. Sesuatu yang disenandungkan Ebiet G Ade dalam nyanyian “Saksikan Bahwa Sepi”. Pada pokok itulah, pencapaian kenikmatan. Penghayatan pada kehidupan yang tidak sebatas pada apa yang namanya uang, kekuasaan, dan prestise. Baik uang, kekuasaan dan prestise hanyalah nuansa kesan yang tidak nyata. Hal yang semu dan tidak abadi. Kesemua itu, tidak lebih berharga dari sepi, tidak lebih indah dari sunyi dimana diri dapat berkaca untuk melihat “pancuran berdansa riang” untuk “menyapa batuan” dan “menjemput rembulan”.

Saya kira, apa yang dihidangkan Ebiet G Ade di lagu “Saksikan Bahwa Sepi” dalam album Camelia III, pada kita tidak semata gambaran atas suatu peristiwa. Tetapi lebih pada nilai lebih atas suatu suasana. Penggambaran pokok yang lain, tidak kalah mengasyikkan saat kita disuguhi kontradiksi:

“Ada perempuan renta menimba

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun