Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ruang Hidup Keterbentukan Manusia

1 September 2013   07:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:32 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kondisi ini dapat kita pandang sebagai kesempatan untuk mengeluarkan semua hasrat dan keinginan yang pada tahap awal hanya tercipta dalam dataran ide. Melalui hak kebebasan, individu diberikan wewenang sepenuhnya dalam rangka mengeksplorasi seluruh ekspresi yang dia miliki. Individu dijamin haknya menjadi apa pun tanpa halangan dan rintangan yang mempersulit kegiatan menjadi diri sendiri. Halangan dan rintangan itu harus ditiadakan, sebab keadaan yang menghalangi individu mencapai kebebasan akan membawa si individu tersebut ke dalam ranah keterasingan dan ketertindasan dirinya sebagai individu yang merdeka. Tidak boleh ada rintangan untuk manusia mengeksplorasi hasratnya, sepenuhnya dan setotalnya sesuai dengan prinsip kebebasan tersebut.

Akantetapi, ruang-lingkup kehidupan manusia yang kemudian memberi bingkai atau gambaran bagi si individu kita ini dalam mengolah hasrat dan keinginan dalam rangka mencapai buah manis kebebasan. Dengan sendirinya hasrat dan keinginan untuk mencapai kebebasan total menemukan saringan dalam aplikasinya di tengah jalan yang mengakibatkan adanya tuntutan bagi si individu untuk memahani tatanan nilai dalam berkesplorasi. Keadaan ini sebagai perwujudan dari kebebasan yang terikat oleh faktor-faktor diluar individu. Kemudian terjadi adanya penggambaran kalau sebenarnya kondisi luar manusia memposisikan manusia sebagai mahkluk sosial yang keberadaannya tidak berdiri secara otonom sendirian. Keberadaan manusia si individu ini secara jelas ditopang oleh faktor-faktor lain yang turun memberi nilai bentuk sebagai manusia.

Saya kira, Iksan Breykele menanggapi faktor eksternal ini dengan penerimaan tersendiri. Muncul dalam olah pikir dan rasa yang dapat kita pahami melalui karya berjudul “Intervensi”. Faktor luar dari diri si individu kita (mungkin si perupa sendiri) lebih dipandang sebagai semacam gelombang yang berdiri –sebagai penghalang- di tengah laju perjalanan hidup. Gelombang sebagai faktor eksternal yang dapat berbentuk apa saja, menghalangi si individu dalam berbuat sehingga menciptakan nuansa hidup yang berat untuk dilalui. Lihat pada “Intervensi” yang seperti orang lain memberikan serangan pada aspek pikiran dan perasaan bagi individu kita.
Bagi saya secara pribadi, faktor eksternal tidak berperan sebagai ancaman. Namun lebih pada alur, pun juga arus yang posisinya lebih pada tempaan untuk menjadi kuat atau bisa lemah. Atau bisa juga sebagai serangan agar si individu ini mampu mempelajari naik-turunnya gelora yang harus dijalani. Seperti halnya bongkahan besi ditangan seorang empu, besi mengalami panas api lalu pukulan demi pukulan, kemudian dipanaskan lagi untuk dihantam dan dibenamkan ke dalam gelap yang dingin tapi hasil akhirnya besi ini menjadi tajam. Begitulah manusia.

Saya kembalikan lagi ke masalah kebebasan manusia, yang mana apabila diumpamakan kebebasan seperti air maka diperlukan adanya wadah untuk menampung air tersebut dan tidak meluber ke mana-mana. Kalau sebagian dari kita tidak setuju dengan keberadaan wadah ini, aspek internal juga bisa dipandang sebagai tanggul, seperti air mengalir di sungai menuju laut. Jadi faktor eksternal yang ada di luar individu tidak semerta-merta dipandang sebagai pengekang kebebasan namun lebih pada pengarahan.

Pengarahan ini diperlukan karena ada hak lain di luar diri individu yang harus diperhitungkan. Di luar diri individu juga ada hak-hak kebebasan lain dan di sini kita sebut dengan hak faktor eksternal. Tanggul bagi aliran air diperlukan guna pengarahan untuk menghindari kebersingungan dan pelanggaran pada hak faktor eksternal. Seperti halnya di atas, pelanggaran pada hak lain dapat mewujudkan adanya penindasan, kesewenang-wenangan, ketidak-beradilan serta ketidak-berkemanusiaan. Catatan dalam aktivitas penyampaian hak itu, bahwa hak kebebasan individu yang satu dibatasi oleh hak kebebasan indivu yang lain.

Saya melihat adanya hubungan yang saling berkesinambungan antara satu individu dengan individu lain dalam hubungan yang saling melengkapi dalam porsi yang dapat dipahamkan. Namun apabila faktor eksernal menjadi semacam kegiatan intervensi seperti yang Iksan Breykele sajikan maka akan menjadi hak individu untuk menerima (atau menghadapi) atau menolak dengan menghindar kebersinggungan. Manusia bebas untuk mengatur secara total pada dirinya sendiri selama tidak bersinggungan dengan faktor diluarnya.


Pemikiran seperti itu, menurut kawan saya, dikatakan sebagai kebebasan yang tidak bebas. Juga ada kawan lain yang mengatakan kalau manusia tidak ada yang bebas sepenuhnya, karena adanya nilai moral, norma, atau pun hukum yang harus dipatuhi dan ini menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Dalam pembicaraan mengenai kebebasan itu akhirnya merujuk pada satu titik, manusia tidak ada yang bebas secara total karena kebebasan total melepaskan manusia dari dunia yang membentuknya. Saya menjadi teringat saat saya sedang bekerja di sawah dan tiba-tiba saat itu hujan deras bercampur angin yang riuh. Saya melihat ke sekeliling, ada burung di sana. Burung ini seringkali dijadikan simbol kebebasan oleh banyak kalangan, namun pandangan saya saat itu membuat saya menolak kalau burung memiliki kemerdekaan yang total.

Sosial dan Ruang Keterbentukan Manusia

Kolektif, perwujudan dari kondisi sosial masyarakat –keluarga dalam ruang lingkup terkecil. Manusia dalam pandangan sosiologis dan ini merupakan faktor alamiah adalah suatu moment dimana keberadaan manusia membutuhkan manusia lainnya atau mahkluk lain guna menopang kelangsungan hidup. Dan hal ini bukan kajian yang baru lagi, namun sudah secara kolektif disepakati oleh manusia.

Individu dan kolektif (sosial) adalah keberadaan yang saling mempengaruhi. Individu menjadi faktor yang ikut memberikan warna pada lingkungan kehidupan kolektif dan sebaliknya, dunia kolektif sebagai faktor yanng ikut mempengaruhi proses kebertumbuhan seorang individu. Keduanya berada di satu ikatan yang mana berguna untuk melahirkan bentuk yang secara familir kita sebut dengan kehidupan.

Marilah kita menyimak lagi “Intervensi” yang mana menjadi lebih menarik untuk kita perbincangkan ke dalam ranah keberhubungan kehidupan manusia dengan kehidupan di luarnya. Meski demikian, saya berpendapat kalau akan lebih tepat kalau tidak disebut sebagai kegiatan intervensi namun hubungan saling melengkapi yang keduanya berkegiatan untuk saling membangun satu sama lain. Satu sama lain saling mempengaruhi dalam proses penciptaan karakter masing-masing.
Sebab apabila kita melihat faktor diluar kita lebih berperan sebagai kegiatan intervensi, dengan sendirinya kita akan menempatkan dunia tempat kita hidup sebagai musuh. Sedangkan kita tentunya sepakat, kalau hakekat musuh itu destruktif, menghancurkan karenanya harus kita hancurkan. Membicarakan musuh manusia (individu) mengingatkan saya pada novel “Perang” karya Putu Wijaya. Melalui cerita pewayangannya, Putu Wijaya memberikan pengambaran mengenai peran musuh, melalui tokoh Semar yang mengungkapkan pada Bima, bahwa musuh menurut Semar sebagai alat pendidikan jiwa-raga. Penggambaran mengenai hakekat musuh manusia dijelaskan oleh Semar, bahwa sebenarnya musuh manusia adalah dirinya sendiri. Tidak ada musuh lain, selain diri kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun