Mohon tunggu...
Beti.MC
Beti.MC Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang memberi ruang untuk menulis pengalaman dan ikut mengkampanyekan "Kerja Layak PRT dan STOP PRT Anak

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kemacetan, Jer Basuki Mawa Beya

7 November 2017   19:54 Diperbarui: 7 November 2017   20:01 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku, dilahirkan di kota ini, diakrabkan dengan kota ini, digembleng untuk hidup mandiri di kota ini, sampai akhirnya bergantung dengan kota ini untuk mengejar impian dan berharap ada rejeki dari sisi kota ini.

Jika dihitung dan dibandingkan, kehidupanku di beberapa kota, jelas Jakartalah yang paling lama "mendidik" kekuatanku. Tinggal di Medan hanya sekitar 8 tahun, kemudian ikut pindah ke Yogya untuk menyelesaikan SD. Lanjut menimba ilmu di kota dingin, Malang selama 6 tahun. Sampai akhirnya menghuni Jakarta selama 20 tahun sampai akhir tahun lalu.

Kota ini memang bisa mendidik individu menjadi kuat, mandiri dan berkarya di banyak bidang karena peluang terbuka disini. Bahkan, zaman dulu, banyak orang menggembleng para fresh graduate untuk bertarung hidup dan keberuntungan di kota ini. Aku masih ingat betul pernah mendorong seseorang untuk keluar dari kotanya untuk mencoba peruntungan di Jakarta, demi sebuah pekerjaan. Tak sia-sia memang, setelah 15 tahun memulai lembar baru di Jakarta, bukan hanya pekerjaan yang diperoleh, tapi sebuah keluarga dan kehidupan diciptakan disini. Tekad awal mencari pekerjaan, meningkat menjadi membangun keluarga dan mengisi ruang Jakarta dalam keseharian.

Masih kuingat betul saat kuliah, biaya untuk transport bolak-balik itu murah banget. Karena wajah masih tergolong imut-imut, tarif pelajar itu jadi andalan. Bahkan dulu, kalau selesai kuliah pagi, sementara masih ada jam sore, masih bisa pulang ke rumah sekedar untuk leyeh-leyeh saja. Tapi di zaman now, kayanya tidak mungkin untuk pulang pergi dengan cara 20 tahun lalu, mending cari tempat menunggu dibanding bermacet-macetan di jalanan yang amburadul. Yah, kota ini mengalami perubahan demikian cepat dan serentak dilakukan demi mengejar kenyamanan bagi penghuninya. Aku berusaha paham dan tidak mengeluh karena situasi ini, tapi gak mudah juga karena banyak hal yang membuat perjalanan menjadi tidak nyaman.

Sebagai seorang commuter,aku harus merawat kewarasanku dengan mengalokasikan waktu lebih panjang untuk menempuh rute berangkat maupun pulang. Secara bijak dan rasional, mengenalkan pada anakku tentang lamanya perjalananku menuju kantor dan pulang ke rumah. Dengan bermukim di Bekasi dan sehari-hari berkegiatan di area Jabodetabek, hidup memang seperti rollercoaster. 

Perlengkapan yang selalu ditenteng adalah botol minum, jaket, syal/pashimna, masker dan setumpuk tisu. Walaupun suami berkendara dengan mobil, kenyamanan itu tetap harus "ditolak" jika mau tiba tepat waktu di lokasi yang diharapkan. Jika harus rapat atau mengikuti agenda di tempat yang tidak searah rute suami, aku mengganti pilihan kendaraan, mulai dari ngojek (baik online maupun konvensional), menikmati perjalanan dengan KRL, berhimpitan di TransJak, itu semua perlu dilakukan demi sampai lokasi, baik kantor atau saat pulang ke rumah.

Pastilah nyaman bila menaiki kendaraan pribadi, tetapi hati kecil ini tidak bisa bohong, ingin segera sampai rumah demi bertemu anak yang sudah seharian ditinggal bekerja. Tapi, kadang tak kuasa juga kaki ini menempuh perjalanan yang bisa lebih dari 1,5 jam berdiri di pilihan transportasi tadi. Akhirnya, harus rela mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk naik taksi konvensional. 

Ah, beruntung memang hidup di zaman canggih, penemuan taksi online itu memang bisa memangkas "sedikit" biaya transportasi jika menghendaki kenyamanan selama perjalanan. Tak jarang, mencari mencari teman yang searah demi memotong lagi biaya yang harus dikeluarkan. Tapi, semua usaha itu terbayar dengan melihat rumah dan bercengkrama dengan penghuninya. Keruwetan di jalan hanya jadi kisah yang harus dijalani, bukan disesali.

Jelas, bekerja di Jakarta itu membutuhkan strategi, bagaimana menyelesaikan tugas dengan cermat dan berhitung waktu agar bisa pulang dengan badan yang tidak rontok! Masih  mungkin bermain dan mencermati tugas sekolah anak. Sebagai mama, aku tidak boleh egois hanya memikirkan target pekerjaan, masih ada tugas untuk merawat dan membahagiakan anak setelah bergelut dengan ramainya kendaraan di jalan. Masih ada napas untuk bercengkrama dan melakukan aktivitas sebelum anak beranjak tidur. Ya, bekerja di kota super macet ini membutuhkan tenaga dan hati yang luar biasa lapang, agar tidak terbawa emosi dan menghantui perasaan sampai di rumah.

Jadi, masih betah bekerja dan tinggal di Jakarta?  Jelaslah, demi mengejar cita-cita, apapun itu harus dijalani. Kalaupun sudah tak tahan dengan kemacetan yang makin menggila, harus cari ide lain untuk tetap bisa berkegiatan dan berkarya disini. Mari disimak cara ini:

  • Mencari tempat tinggal (lebih) dekat jaraknya dengan kantor
  • Berkendara dengan rekan/ keluarga yang rutenya searah (ride sharing)
  • Mencari jenis pekerjaan yang tidak perlu keluar rumah, memanfaatkan kecanggihan teknologi
  • Belajar sabar dan mengolah stres

Jadi, masih ingin bersabahat dengan kemacetan? Benar memang kata peribahasa ini, Jer Basuki Mawa Beya, untuk mendapatkan apa yang diinginkan itu, kita membutuhkan biaya (nah, bisa dalam arti sebenarnya) atau sebuah pengorbanan dalam melakukan usaha. Bukankah melintasi jalan-jalan dengan kemacetannya juga sebuah upaya mewujudkan impian kita. Ayo, siasati macet dengan cerdik, hasilnya akan diperoleh sepadan dengan pengorbanan itu.

Salam hangat,

Beti.MC

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun