Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soal Keterlambatan Kronis

11 Februari 2011   19:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:41 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menunggu adalah salah satu hal yang paling membosankan. Kata-kata itu biasa kita dengar, baik sebagai kata-kata bijak yang berfungsi sebagai pengingat agar kita menjadi lebih peka terhadap waktu, atau sebagai ungkapan sinis dan marah  ketika kita mengalami frustrasi karena menunggu seseorang yang tidak menepati janjinya. Keterlambatan yang terjadi secara sistemik dan kronis memang sangat merugikan, tidak hanya pada tataran individual, tetapi juga pada tataran institusional. Paling tidak itu yang saya bisa rangkum ketika membaca Bab 6 dari the Fifth Discipline karya Peter Senge (1990).

Dalam bab itu, digambarkan bagaimana suatu perusahaan yang berhasil menguasai ceruk pasar (niche) mengalami kegagalan bahkan ketika para pesaing belum siap untuk mengambil alih peran yang dimainkannya. Perkembangan teknologi komputer pada tahun 1970an memang baru dikuasai oleh sejumlah kecil pemain. Termasuk di antaranya adalah WonderTech yang segera cepat mendapatkan ceruk pasar strategis. Diceritakan pada tiga tahun perkembangannya, perusahaan ini mencapai tingkat yang luar biasa. Penjualan luar biasa bagus, banyak orang yang antri, dan orang-orang merasakan manfaat dari produk komputer yang dihasilkan oleh WonderTech ini.

Saking banyaknya order, WonderTech lalu mengalami persoalan dalam hal pemenuhan permintan pasar. Pasar masih setia menunggu penundaan barang. Bahkan, para direktur dari perusahaan itu boleh bangga: "Saking bagusnya produk kami, mereka bahkan tidak berkeberatan menunggu waktu yang cukup lama, sampai 10 minggu, sampai 12 minggu, bahkan sampai 14 minggu." Namun apa yang terjadi? Di balik rasa kebanggaan ini adalah sebuah ketidak sadaran yang berkembang di antara para direktur itu - direktur produksi, direktur pemasaran dll. Mereka tidak menyadari bahwa kesabaran pelanggan itu memiliki batas.

Peter Senge mencatat bahwa serangkaian penundaan karena besarnya permintaan pasar dan tidak memadainya kapasitas produksi menyebabkan kepercayaan para pelanggan menurun. Oleh karenanya, pada tahun ketiga, penjualan mengalami penurunan drastis. Orang-orang tidak lagi begitu antusias karena gerutuan mereka, yaitu tentang keterlambatan pengiriman barang, tidak begitu didengarkan (atau setidaknya dipahami sebagai persoalan serius oleh para direktur).

SIngkat kata, sesudah mengalami penurunan tajam, mereka pun menggenjot pemasaran, dengan janji bahwa pengiriman barang akan secepat yang dijanjikan - terutama karena WonderTech sendiri telah membuka pabrik baru yang lebih besar. Dan memang, terjadi lagi peningkatan penjualan. Namun, penyakit lama muncul kembali. Aliran pengiriman barang tersendat lagi, dan ini terjadi dalam siklus tiga tahunan. Artinya, setelah mengalami proses penurunan memasuki tahun keempat, dan kemudian memasuki peningkatan lagi memasuki tahun ke lima, dan keenam. Memasuki tahun ketujuh, terjadi penundaan pengiriman barang yang parah. Orang-orang mulai tidak lagi antusias menunggu dan mempercayai janji-janji dari WonderTech ini. Penurunan penjualan terjadi, sementara produksi tetap jalan, membuat stok meninggi. Dan ini membuat direktur pemasaran menggenjot dengan model pemasaran yang lebih menarik. Terjadi peningkatan penjualan lagi, dan siklus sebelumnya terulang. Begitu terjadi peningkatan penjualan, terjadi lagi penundaan pengiriman barang.

WonderTech akhirnya hanya bertahan sampai usia ke 10. Sebagai perusahaan, dia mati muda. Peter Senge melihat bahwa persoalan utamanya lebih dari kegagalan para direkturnya memahami bahwa pertumbuhan ada batasnya. Pertumbuhan dalam pemasaran ditentukan oleh pola relasi dengan para pelanggan. Ketika pelanggan tidak lagi antusias untuk menunggu serangkaian penundaan, dampak yang ditimbulkannya sangatlah luar biasa. Para direktur gagal memahami kompleksitas psikologis yang dirasakan oleh para pelanggan itu.


Gambaran macam ini memberi pelajaran yang berharga. Masalah waktu adalah satu hal yang sangat penting dalam menjalin relasi. Sekali telat, atau tidak menepati janji, barangkali masih tetap ada maaf. Namun ketika keterlambatan sudah menjadi begitu kronis, yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan relasional. Idealnya memang, integritas tetap dipertahankan. Namun, hidup ini tidak lah linear, antara apa yang dikatakan, diharapkan, dan dijalankan sering tidak ketemu. Tidak terlalu salah bila Tisdell () melihat pengalaman transfomatif spiritual pun merupakan sesuatu yang mengikuti pola "spiralling" - kadang maju, agak stabil pada tahap tertentu, dan kemudian mundur. Kadang secara kognitif kita memahami sesuatu yang ideal dan baik untuk dilakukan, namun kemudian mundur karena berbagai persoalan yang terlalu kompleks. Hal yang oleh filsof Jawa - Ki Ageng Suryomentaram - disebut sebagai fenomena "mulur mungkret".

Referensi:

Senge, P. (1990). The fifth discipline: The art of practice of the learning organization. New York: Currency Doubleday.

Tisdell, E.J. (2003). The great spiral: Spiritual development as a process of moving forward and spiralling back. In Exploring spirituality and culture in adult and higher education (pp. 93-116). San Francisco: Jossey-Bass.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun