Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menikmati Kemewahan

3 Februari 2010   20:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Era awal 1980-an, Lebaran atau Idul Fitri merupakan hari-hari penuh kemewahan. Ya, mewah dalam arti sesungguhnya. Selama kurang lebih sepuluh hari, siapapun – baik anak-anak, orang-orang tua dan uda, muncul dengan penampilan penuh kemewahan. Mereka memakai baju baru, baju terbaik yang mereka baru beli. Parfum, yang dulu kami kenal sebagai “ambri” menyengat, memberi kesan kuat bahwa sesosok peri sedang lewat di tengah malam buta. Anak-anak pun tidak kalah menikmati kemewahan: bersilahturahmi dari satu rumah ke rumah yang lain.

Aku tidak berbeda dengan anak-anak lain, yang menikmati kemewahan Lebaran dengan suka cita tanpa batas. Namun, sebenarnya, tujuan silaturahmi bukan tujuan utama. Yang pokok adalah menikmati kemewahan penganan: wajik, jadah, kue-kue kecil, onde-onde ceplus … dan katakanlah ini sebagai kemewahan tingkat tiga. Beragam penganan itu tidak pernah dijumpai di hari-hari biasa, kecuali untuk keluarga elit tertentu yang jarang berbagi dengan tetangga!

Menikmati kemewahan penganan merupakan praktek umum dan dikategorikan dalam kemewahan tingkat tiga karena ini lah yang akan ditemui di semua rumah. Begitu mantera ajaib yang berisi permohonan berbagi maaf sudah diucapkan oleh salah satu yang ditunjuk, tangan-tangan kecil kami sudah tidak sabar menyelonong dan mengambili makanan di toples warna warni yang disediakan di atas meja. Dalam kelompok berenam atau bertujuh, kami menjelajahi dusun, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Sekalipun kelompok macam ini lebih mencerminkan kerumunan (crowd), tapi kami memiliki semacam pemimpin yang akan menentukan ke rumah mana kami harus mampir.

Kemewahan tingkat dua muncul ketika ada tambahan suguhan lain selain penganan standar tersebut. Dan ini lah yang membuat kami lebih bersuka cita! Suguhan berupa makan siang (atau malam tergantung waktunya) dengan lauk daging ayam! Jaman dulu, ayam ras masih barang yang sangat langka. Menyembelih ayam sebagai lauk sehari-haru lebih merupakan hal tabu! Tabu karena harga satu ekor ayam bisa setara dengan lima – tujuh kilo beras! Atau bisa untuk bayar SPP sampai empat bulan! Untuk daerah pegunungan Menoreh yang miskin produksi pertanian, dan di mana sirkulasi uang yang memang tidak lancar itu, uang sebanyak lima sampai tujuh kilo beras merupakan jumlah yang besar.

Konsumsi daging untuk lauk-pauk sehari-hari merupakan hal yang ditabukan. Suatu kejutan yang membahagiakan bila di suatu rumah kami mendapat suguhan makan dengan lauk ayam! Di atas piring, biasanya sudah dipersiapkan lauk dan sayur kentang ongseng. Rasanya agak manis dan pedas. Nasinya ambil sendiri.

Kemewahan tingkat satu sangat jarang dinikmati. Dan kemewahan ini sangat jarang. Biasanya hanya terjadi bila kita bertamu pada satu keluarga yang mempunyai kerabat yang tinggal di kota. Mereka yang datang dari kota menyediakan sejumlah uang kecil untuk dibagikan ke anak-anak seperti kami. Sayang, jumlah keluarga yang punya kerabat tinggal di kota hanya bisa dihitung dengan jari di salah satu tangan. Jadi jangan terlalu banyak berharaplah untuk kami-kami menikmati kemewahan tingkat satu!!!

Namun, terlepas dari tidak bisa dinikmatinya kemewahan tingkat satu ini, teman-temanku sering unjuk gigi dengan keterampilan ekonomis mereka. Dengan beragam cara, mereka mulai menunjukkan jati diri mereka yang beranjak “dewasa”, padahal umurnya masih berkisar 12-13 tahun. “Kedewasaan” itu mereka beli dalam bentuk satu atau dua batang rokok, yang akan disulut dan disedot dengan penuh perasaan. Kedua mata mereka berkedip-kedip, dan desahan suara nafas mereka dibuat seakan-akan asap rokok tersebut nikmat sekali … (padahal ternyata pahitnya minta ampun dan sangat tidak enak untuk anak-anak seusiaku yang baru saja mencobanya!). Kedewasaan dalam bentuk satu atau dua batang rokok itu mereka bisa beli setelah mengumpulkan satu dua keping rupiah.

Era 1980-an, sesudah berakhirnya emas hijau panili akibat penyakit busuk batang, Samigaluh dan sekitarnya diberkati dengan merebaknya cengkih. Bila bunga cengkih hanya muncul satu tahun sekali, daun-daunnya berguguran tiap hari. Daun-daun yang jatuh dan mulai kering, namun masih cukup menyimpan minyak atsiri, dikumpulkan di pengepul, dan akan dibawa ke pusat penyulingan. Satu kilo seharga Rp. 5,-. Untuk anak-anak usia kami, berhasil membawa 6 sampai 8 kilogram sebagai hasil kerja sendiri, dan akhirnya membawa pulang uang sebesar Rp. 30-40,- merupakan kebanggaan tak terkira. Harga diri sebagai manusia ekonomis yang merdeka (walaupun dalam arti sangat sempit) telah melambung! Dan ketika keping demi keping rupiah itu terkumpul, kami akan membelanjakannya dengan kemewahan-kemewahan yang disediakan selama 10 hari Lebaran itu. Ada yang memilih beli rokok, atau ada yang beli kembang api … es lilin … atau mainan othok-othok yang terbuat dari kaleng susu bendera. Apapun kemewahan masa kanak-kanak yang bisa kami bisa beli di tempat-tempat pertunjukan hiburan seperti jathilan, incling atau kethoprak, atau wayang kulit.

Namun, masa-masa itu hanya lah kenangan yang telah lewat, dan bagiku secara pribadi, lebih merupakan mimpi yang tidak sepenuhnya bisa aku nikmati. Aku berbeda dengan teman-teman lain yang bisa menikmati beragam kemewahan itu sampai tuntas. “Tanggal merah untuk lebaran hanya dua hari. Selebihnya tanggal hitam. Kita kembali bekerja.” Itu doktrin yang diajarkan Bapak. Begitu memasuki hari ketiga, kami kembali ke kebun. Mencangkul! Membersihkan rumput-rumput yang menyemak, dan membuat kompos dari daun-daun itu. Kambing-kambing kami pun tidak boleh kelaparan. Kayu bakar tidak boleh sampai habis. Air untuk memasak yang diambil kurang lebih satu kilometer dari rumah juga tidak boleh habis.

Hari-hari penuh mimpi itu dipenuhi dengan begitu banyak petuah. Bapak tidak pernah berhenti memberikan peringatan. Suaranya yang keras seperti godam yang siap menghantam tiap kali kami melawan kehendaknya. Tangannya akan dengan begitu cepat menemukan cuping telinga kami ketika waktu belajar malam-malam kami justru kami gunakan untuk bersenda gurau.

Di waktu-waktu ini, ketika sudah lebih dari dua dekade semua pengalaman itu berlalu, sering aku tercenung mengenangnya. Kali ini, ketika tiap minggunya aku harus melahap 400 – 500 halaman buku, aku kembali mengingat kemewahan-kemewahan yang tidak senantiasa aku bisa nikmati seperti teman-teman yang lain. Bapakku yang sudah di keabadian pasti tersenyum melihatku mengenang masa-masa itu. Mungkin dia bangga dan puas bahwa sekarang aku menghindarkan diri dari sikap suka mengeluh ketika tuntutan kuliah ini begitu keras. Dia telah membuat diriku tidak terlalu lembek dan menyerah begitu saja ketika tantangan itu hadir. Ya, hidup memang tidak mudah, harus diperjuangkan. Dan persoalannya bukan terletak pada para professor yang keranjingan memberikan tugas berjibun ini. Persoalannya adalah bagaimana aku secara kreatif menikmati bacaan yang kadang-kadang membosankan ini: tanpa harus mengeluh!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun