(Muhammad Berlian Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Andalas)
Merantau atau berdiaspora adalah suatu kebiasaan atau habbit yang tak terpisahkan dari kebudayaan orang Minangkabau, kebudayaan merantau sudah ada sejak orang Minangkabau ada, tercatat melalui karya prof. gusti asnan, dalam artikelnya beliau mengatakan sejak zaman perang padri, banyak orang minangkabau yang merantau keluar dari ranah minang baik untuk mencari aman dari ancaman dan kekerasn kolonial Belanda atau mencari penghidupan yang lebih baik dari yang ada di kampung halaman.
Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan politik Indonesia, sejak lama menjadi magnet bagi orang Minangkabau yang inign mencari penghidupan yang lebih layak dari pada di kampung dengan mencari ilmu, memperluas jaringan usaha,ataupun meniti karier. Salah satu jalur yang di tempuh adalah dengan menggunakan transportasi laut, terutama kapal penumpang Bogowonto, yang menjadi saksi bisu mobilitas diaspora dari Padang -- Jakarta.
Kapal Bogowonto, bagian dari armada Pelni, telah berperan besar dalam menghubungkan Sumatera Barat dengan ibu kota negara pada 1980-an. Rute Padang -- Jakarta bukan hanya lintasan geografis, melainkan lintasan sosial dan kultural. Perjalanan laut yang memakan waktu tiga hari dua malam membuka ruang intewraksi antar suku, mempertemukan pedagang kecil, mahasiswa baru, pekerja, dan calon perantau yang membawa harapan sekaligus kerinduan.
Di dek kapal, cerita-cerita perantau Minangkabau sering muncul tentang keluarga yang harus ditinggalkan, tentang cita-cita untuk sukses di perantauan, atau tentang pengalaman generasi sebelumnya yang membangun nama di Jakarta sebagai pedagang, intelektual, atau politisi. Bogowonto bukan hanya sekedar sarana transportasi melainkan juga simbol keterhubungan ruang Rantau dengan kampung halaman.
Jakarta menjadi kota dengan konsentrasi besar perantauan orang Minangkabau. Sejak era kolonial, mereka sudah hadir sebagai pedagang makanan, wartawan, seniman, maupun pejabat pemerintahan. Warung makan nasi padang menjadi sentral yang dikenali. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai Minangkabau adalah mandiri, berani bersaing, serta menjunjung tinggi Pendidikan menjadi modal sosial yang mendukung integrasi mereka di kota besar.
Perjalanan dengan kapal Bogowonto dapat dipahami sebagai ruang transisi antara kampung halaman dan dunia Rantau. Di atas kapal, batas-batas sosial mencair. Peranyau dari berbagai latar belakang ekonomi duduk bersama, berbagi bekal, berbicara tentang masa depan, bahkan membentuk jaringan awal sebelum tiba di Jakarta. Ruang kapal dengan demikian menjadi miniatur dari diaspora itu sendiri, perpaduan antara asal-usul tradisi Minangkabau dengan tantangan baru yang menunggu di pusat metropolitan.
Di ibu kota banyak perantau Minangkabau yang menjadikan usaha kuliner sebagai pintu masuk utama dalam bertahan hidup. Rumah makan padang menjadi simbol kuat diaspora ini. Keberhasilan mereka tidak hanya terletak pada cita rasa masakan yang kaya rempah dan pedas, tetapi juga pada strategi sosial-ekonomi yang khas, rumah makan padang berkembang pesat di berbagai sudut kota Jakarta, mulai dari Kawasan padat penduduk hingga Kawasan elit.
Fenomena ini menunjukkan kemampuan orang Minangkabau dalam membaca peluang dengan menghadirkan masakan kampung yang sekaligus di terima oleh lidah orang kota. Dari nasi rendang hingga gulai ayam, dari dendeng hingga sambal lado hijau, dengan ini warung makan padang berhasil menyeberangkan identitas kuliner Minangkabau ke ruang publik urban.
Namun, diaspora orang minangkabau di Jakarta tidak berhenti pada usaha rumah makan saja. Banyak juga di antara orang Minangkabau yang membangun jaringan perdagangan bumbu masak di pasar-pasar tradisional di Jakarta. Toko cabe, bawang, dan rempah menjadi basis ekonomi lain yang menopang keberlangsungan hidup orang Minangkabau. Dengan memanfaatkan jaringan distribusi dari Sumatera Barat maupun daerah lain, para pedagang Minangkabau berhasil menciptakan rantai pasokan yang kokoh.
Migrasi Padang-Jakarta bukanlah perjalanan tanpa risiko. Banyak perantau Minangkabau yang harus menghadapi kerasnya hidup di ibu kota, keterbatasan pekerjaan,
hingga adaptasi dengan gaya hidup modern. Namun etos pantang pulang sebelum berhasil mendorong mereka untuk terus bertahan. Generasi Minangkabau yang berangkat dengan kapal bogowonto bukan hanya mewarisi tradisi lama, tetapi juga membawa identitas baru, mereka menjadi bagian dari diaspora global yang terkoneksi lewat teknologi, jaringan usaha, dan Pendidikan tinggi. Perjalanan laut tetap menjadi simbol keterikatan emosional sebuah napak tilas dari tradisi merantau menuju masa depan yang lebibh luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI