[caption caption="Ilustrasi: Rossi vs Lorenzo"][/caption]
Â
Bila berkenan membaca dulu referensi awal di http://www.kompasiana.com/mazdik/rossi-vs-lorenzo-locus-control-internal-vs-external_561e101d4423bdcf141cf242
Â
Sudah dapat dipastikan bahwa Yamaha akan didaulat menjadi the best konstruktor (322 poin), dan YamahaMoviStar menjadi Juara Tim pada MotoGP 2015 (522 poin). Dengan demikian tinggal menunggu Valentino Rossi yang memiliki poin tertinggi (296) dan Jorge Lorenzo dengan poin 285, siapa yang terbaik.
Mereka berdua akan berjuang memperebutkan posisi tertinggi di 2 balapan tersisa di Sirkuit Sepang pada 23-25 Oktober dan Valencia, Spanyol, 6-8 November, untuk melengkapi Yamaha sebagai Triple Crown 2015.
Â
[caption caption="Perolehan Poin Konstruktor MotoGP 2015 www.beritasatu.com"]
[caption caption="Perolehan Poin Tim MotoGP 2015 www.beritasatu.com"]
Dengan motor yang "persis" sama dan pengenalan sirkuit yang relatif sama, juga tim yang identik, maka yang akan menjadi penentunya adalah faktor individu (tentu di luar faktor keberuntungan, kalau itu dianggap ada). Rossi yang memasuki usia ke 37 tentu memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan Lorenzo yang baru 28 tahun. Tetapi di sisi lain usia akan mempengaruhi stamina. Artinya faktor umur dan pengalaman akan menjadi impas, tidak dapat dijadikan faktor penentu bagi mereka.
Dengan demikian yang akan bicara adalah masalah mental. Siapa yang lebih bermental Juara. Siapa yang lebih sanggup menghadapi tantangan. Siapa yang memiliki daya juang lebih tinggi dan berhasil "mendaki" lebih tinggi.
Â
[caption caption="Jorge Lorenzo dan Valentino Rossi www.tempo.com"]
Â
Di dalam Psikologi, diantara sekian banyak atribut yang ada, dikenal istilah Adversity, yang biasanya dikaitkan atau diterjemahkan dengan kecerdasan ketahanmalangan atau kesanggupan seseorang dalam menghadapi tantangan dan situasi sulit.
Teori ini diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz dalam bukunya Adversity Quotient (AQ) atau Adversity Intellegence. Seseorang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mencapai kesuksesan dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.
Stoltz menganalogikan bahwa hidup kita ibarat sebuah pendakian, dan dalam menghadapinya individu terbagi dalam 3 kategori, yaitu Quitters, Champer dan Climber.
Â
[caption caption="Adversity Intellegence www.slideshare.net"]
Â
Quitters
Yaitu mereka yang menolak kesempatan, mengabaikan atau meninggalkan dorongan untuk mencapai kesuksesan yang mereka inginkan. Ciri utamanya, bekerja atau berbuat sekadar cukup untuk hidup, kurang bersemangat, tidak kreatif, mengeluh. Kosa kata yang muncul biasanya "tidak bisa", "tidak mau", "mustahil", dan sejenis.
Â
Campers
Mereka yang berkemah atau berhenti setelah beberapa saat mendaki karena bosan atau tidak bersemangat lagi. Mereka memilih untuk berhenti, tinggal dengan menyatakan sudah sukses. Ciri utamanya, mereka memiliki inisiatif dan usaha, semangat, bekerja keras dengan tujuan agar mereka lebih nyaman, bekerja tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya, menunggu. Kosa katanya, "sudah cukup bagus", "cukup sampai disini", dan sejenis.
Â
Climbers
Inilah si pendaki. Tanpa melihat latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, mereka terus berusaha, naik dan mendaki. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk berhasil dan tidak pernah membiarkan tantangan dan hambatan lainnya menghalangi pendakiannya untuk mencapai kesuksesan.
Seorang Climbers menyambut baik tantangan, menunjukkan semangat tinggi, dapat memotivasi diri sendiri, kreativitas tinggi dan bekerja dengan visi.
Karakter inilah yang mestinya kita miliki, sebagaimana para Juara.
Apakah Rossi atau Lorenzo yang dapat mendaki lebih tinggi. Climber dengan lokus internal atau Climber dengan lokus eksternal. Atau ada faktor lain?
Kita tunggu
Â
Sumber: www.detiksport.com
Â
Â