Mohon tunggu...
DISCA AMANDA Y
DISCA AMANDA Y Mohon Tunggu... Profesi/Jabatan: Mahasiswa Instansi: Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang

Saya adalah pribadi yang senang belajar hal-hal baru dan mudah beradaptasi dalam berbagai situasi. Hobi saya membaca, menulis, dan membuat konten seputar psikologi serta pengembangan diri. Saya juga suka berdiskusi tentang isu-isu sosial dan kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan perempuan dan kesehatan mental.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tekanan Tak Terlihat: Psikologi Anak Perempuan Pertama dalam Keluarga

10 Juli 2025   11:20 Diperbarui: 11 Juli 2025   11:37 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lahir duluan? Langsung dikasih gelar: Kakak Segala Urusan.

Ngurus adik? Iya. Bantu mama? Iya. Punya waktu buat diri sendiri? Hah, itu apa ya?

Tenang, kamu nggak sendirian. Ada satu istilah yang mungkin relate banget sama hidup kamu: Eldest Daughter Syndrome alias sindrom anak perempuan pertama. Ini bukan sekadar “drama” atau “lebay,” tapi realita psikologis yang banyak dialami cewek-cewek kuat kayak kamu. Mau tahu lebih dalam? Scroll terus yukkk, siapa tahu tulisan ini bisa jadi pelukan hangat buat hati yang udah lama kamu pendam sendiri. 💛

------------------------------------

Dikenal dengan istilah Eldest Daughter Syndrome (EDS) atau Sindrom Putri Sulung, gambaran beban emosional yang dipikul oleh anak perempuan tertua dalam keluarga sebaiknya jangan dianggap sepele. Dalam sistem keluarga di Indonesia yang cenderung patriarkal dan berorientasi pada nilai-nilai kolektivisme, peran anak pertama perempuan sering kali dibentuk oleh ekspektasi sosial dan norma budaya yang tidak tertulis. Anak perempuan sulung di banyak keluarga bukan hanya dituntut untuk menjadi panutan, akan tetapi juga sering kali dibebani peran sebagai caregiver kedua setelah ibu, bahkan ketika dirinya belum sepenuhnya matang secara emosional maupun ekonomi. 

Sebagai anak pertama, sering kali ada harapan yang lebih tinggi dari orang tua untuk menjadi contoh yang baik. Hal ini bisa mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari nilai akademik, etika kerja, hingga perilaku sosial. Anak pertama sering kali merasa tertekan untuk memenuhi harapan ini, yang terkadang bisa menjadi beban emosional yang besar. 

 

🌸 Penyebab Eldest Daughter Syndrom 🌸

Eldest Daughter Syndrome atau Sindrom Anak Sulung Perempuan sering muncul karena berbagai faktor yang saling berkaitan, seperti tanggung jawab yang diberikan sejak kecil, ekspektasi sosial, dan cara pengasuhan dalam keluarga. Dikutip dari VeryWell Mind, Navigating the Challenges of Eldest Daughter Syndrome, berikut beberapa faktor utama yang bisa memicu munculnya sindrom ini. 


1. Tanggung Jawab yang Besar Sejak Dini

Sejak kecil, anak sulung perempuan sering diberi tanggung jawab lebih besar, seperti menjaga adik dan membantu rumah. Mereka tumbuh dengan peran dewasa, merasa harus selalu bisa diandalkan.


2. Ekspektasi Sosial terhadap Anak Perempuan Sulung 

Anak sulung perempuan sering dibebani ekspektasi jadi panutan. Tekanan dari keluarga dan lingkungan membuat mereka merasa harus selalu sempurna dan bisa diandalkan.


3. Cara Pengasuhan Keluarga 

Pola asuh yang menekankan tanggung jawab dan kedewasaan pada anak sulung juga jadi pemicu utama Eldest Daughter Syndrome. Dalam banyak keluarga, anak sulung diharapkan membantu orang tua menjaga dan mengarahkan adik-adiknya. Anak perempuan sulung pun kerap dianggap sebagai “wakil” orang tua, sehingga mereka tumbuh dengan peran yang lebih dewasa. Ekspektasi terus-menerus ini membuat mereka terbiasa mendahulukan kebutuhan keluarga dibandingkan keinginan pribadi. 


4. Selalu diminta mengalah

Entah berapa kali kamu dengar kalimat, “Namanya juga adik, masa kamu kalah sama dia?” atau “Kamu kan kakak, harus ngalah dong.”

Di titik tertentu, kamu jadi percaya kalau kamu salah saat kamu ingin membela diri. Kamu takut terlihat egois hanya karena nggak mau berbagi, padahal kamu cuma ingin hal yang sama: perhatian dan pengertian.


5. Rasa bersalah yang muncul terus-menerus

Kamu tahu tidak, banyak anak perempuan pertama tumbuh dengan rasa bersalah yang aneh. Kayak misalnya, kalau kamu istirahat tapi adikmu disuruh-suruh, kamu merasa “tidak enak.” Atau waktu kamu menolak bantu, kamu mikir kamu jahat. Padahal kamu cuma manusia. Tapi kamu dibentuk jadi orang yang merasa harus hadir setiap waktu, bahkan kalau kamu sendiri lagi kosong.


🌸 Dampak Eldest Daughter Syndrome 🌸

Eldest Daughter Syndrome ternyata bisa punya dampak besar dalam hidup anak perempuan sulung. Tekanan untuk selalu jadi contoh dan memikul tanggung jawab dari kecil bisa memengaruhi kesehatan mental, emosi, hingga cara mereka menghadapi berbagai tantangan. Masih dari Verywell Mind, berikut beberapa dampak yang sering dialami. 

• Dampak Psikologis: Peran yang Tidak Seimbang

Anak perempuan pertama sering kali tumbuh dengan pola pikir bahwa dirinya harus selalu bisa diandalkan. Akibatnya, banyak dari mereka yang:


1. Perfeksionisme dan Takut Gagal

Anak sulung perempuan sering tumbuh dengan tekanan untuk selalu jadi panutan. Mereka cenderung keras pada diri sendiri, takut gagal, dan merasa harus selalu sempurna. Perfeksionisme ini bikin mereka mudah stres, cemas, dan rentan kelelahan karena terus berusaha memenuhi ekspektasi yang tinggi dari orang lain.


2. Burnout dan Kelelahan Emosional

Anak sulung perempuan sering merasa tertekan karena harus selalu kuat, bisa diandalkan, dan mendahulukan orang lain. Peran sebagai penengah, pelindung, dan pengatur tanpa ruang untuk diri sendiri bisa menyebabkan stres, burnout, dan kelelahan emosional meski tampak tenang di luar.


• Dampak Sosial dan Relasional

1. Tidak Merasa Bebas Jadi Diri Sendiri

Selalu menjadi panutan membuat mereka takut menunjukkan sisi lemah atau sifat "tidak sempurna" seperti marah, kecewa, atau sedih. Akhirnya, banyak yang menyembunyikan perasaan dan menciptakan topeng kuat.


2. Ketimpangan Peran Gender

Dalam keluarga yang masih memegang nilai patriarki kuat, beban anak perempuan pertama jauh lebih berat dibanding saudara laki-lakinya. Ia harus memasak, membersihkan rumah, menjaga adik, padahal ia juga memiliki kehidupan sendiri yang perlu diperhatikan.


3. Hubungan Tidak Seimbang

Dalam hubungan pertemanan atau percintaan, ia bisa terjebak menjadi “pengasuh” atau "penyelamat" karena sudah terbiasa mengurus orang lain.


Ciri-ciri Kamu Mengalami Eldest Daughter Syndrome 

Dirangkum dari laman Parents dan Modern Intimacy, terdapat tanda-tanda yang dialami oleh seseorang dengan eldest daughter syndrome, adapun berikut uraiannya:

1. Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. 

2. Merasa perlu untuk mengendalikan semua hal di dalam keluarga. 

3. Memikul berat harapan dari orang tua. 

4. Memiliki sifat perfeksionis. 

5. Terkadang memiliki rasa dendam terhadap orang tua atau saudara kandung. 

6. Selalu mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. 

7. Perilaku menyenangkan orang lain (people pleaser). 

8. Mengalami kecemasan. 

9. Hingga merasa depresi. 

10. Menjalin hubungan dengan orang yang seumuran. 


🧚‍♀️ Tips Mengatasi Eldest Daughter Syndrome

Kembali dikutip dari sumber yang sama, bagi seseorang yang sudah merasa mengalami eldest daughter syndrome, tak peduli berapapun usianya tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik di dalam hidup.

Oleh karena itu, simak beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghalau eldest daughter syndrome berikut ini:

1. Prioritaskan Diri Sendiri

Fokuslah pada kebutuhan dan kesejahteraan diri sendiri. Salah satu caranya yaitu dengan menghabiskan waktu berharga untuk diri sendiri dan jangan lupa untuk memberikan penghargaan kepada diri sendiri atas semua yang telah dilakukan hingga waktu ini.


2. Menetapkan Batasan

Membiasakan diri untuk menetapkan batasan adalah aspek penting dari penyembuhan. Ini mungkin memerlukan pembelajaran untuk menegaskan kebutuhan dan keinginan pribadi. Belajarlah untuk berkata 'tidak' pada orang lain dan belajarlah untuk tidak selalu menyalahkan diri sendiri dalam setiap momen. 


3. Mencari Bantuan Profesional

Terapi membantu memproses trauma dan membangun koping sehat. Metode efektif seperti Perilaku Kognitif (CBT), Fokus Trauma (TF-CBT), dan Desensitisasi dan Pemrosesan Ulang Gerakan Mata (EMDR) bisa membantu mengatasi pikiran negatif serta mengelola emosi dengan lebih baik.


🧚‍♂️ Cara Membantu Orang Lain Mengatasi Eldest Daughter Syndrome

Jika kamu memiliki saudara, teman, atau kerabat yang mengalami eldest daughter syndrome, kamu dapat membantunya agar dia bisa mengatasi masalah yang dihadapinya. Beberapa cara yang bisa detikers lakukan adalah sebagai berikut:

1. Dengarkan Ceritanya dengan Rasa Empati

Terimalah cerita dan perasaan mereka tanpa memberikan penilaian. Memberikan dukungan emosional sangat penting untuk membantu mereka merasa dimengerti dan tidak merasa sendirian.


2. Berilah Saran Konsultasi Profesional

Jika mereka mengalami kesulitan yang berat, dorong mereka untuk mencari bantuan dari profesional seperti konselor atau terapis. Terapis bisa membantu mereka memahami dan mengatasi masalah yang mereka alami. 


3. Presiasi Setiap Pencapaiannya

Jangan lupa untuk memberikan penghargaan atas pencapaian mereka, baik besar maupun kecil. Ini bisa membantu mereka merasa dihargai dan diakui.


🌷KESIMPULAN

Eldest Daughter Syndrome (EDS) adalah tekanan emosional yang dialami anak perempuan sulung akibat ekspektasi tinggi dan tanggung jawab besar sejak kecil, terutama dalam budaya patriarkal. Dampaknya meliputi kelelahan emosional, perfeksionisme, dan kesulitan menetapkan batasan. Untuk mengatasinya, penting bagi mereka untuk belajar memprioritaskan diri, menetapkan batas sehat, mencari dukungan emosional, dan jika perlu, bantuan profesional. Dukungan lingkungan sekitar juga berperan penting dalam membebaskan mereka dari peran yang menekan.






Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun