Mohon tunggu...
Mayyumi ItsuwaShita
Mayyumi ItsuwaShita Mohon Tunggu... mahasiswa

travelling

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Lebih dari Oleh-Oleh: Bakpia Wahyu dan Warisan Cinta dalam Setiap Gigitan

5 Juli 2025   10:04 Diperbarui: 5 Juli 2025   10:28 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana dapur tradisional Bakpia Wahyu di Srandakan, Bantul. Para pekerja sibuk membungkus adonan bakpia secara manual, tanpa bantuan mesin, mempertahankan cara produksi klasik sejak 1991.

Di sebuah gang kecil yang sunyi di Srandakan, Bantul, aroma manis kacang hijau panggang menguar dari balik rumah berdinding bata. Tak banyak yang tahu, di balik dapur mungil itu, ada sebuah kisah ketekunan dan kesetiaan terhadap rasa yang tidak lekang dimakan waktu. Di sinilah Bakpia Wahyu lahir bukan hanya sebagai makanan ringan, tetapi sebagai simbol cinta, tradisi, dan ingatan masa lalu yang terus hidup. Duduk di dekat tungku tanah liat yang masih menyala hangat, seorang pria paruh baya tengah membalik loyang adonan bakpia dengan gerak yang perlahan tapi mantap. Dialah Pak Wahyu, sang pemilik sekaligus peracik utama Bakpia Wahyu, usaha rumahan yang sudah berdiri sejak 1991. "Saya bikin sendiri dari dulu, dari tahun 1991," ujar Pak Wahyu sembari menebar tepung ke meja adonan. "Dulu ramai sekali. Sekarang tinggal pelanggan lama yang masih ingat rasa bakpia kami."

Di tengah gempuran toko oleh-oleh modern yang serba instan dan berkilau, Bakpia Wahyu tetap berjalan pelan, tidak tergesa, namun setia pada jalannya sendiri. Tidak ada mesin otomatis, tidak ada kemasan glossy atau promosi di media sosial. Semua proses, dari menggiling kacang hijau, menguleni adonan, hingga memanggang bakpia, dilakukan dengan tangan dan kesabaran, bahkan oven yang digunakan pun masih dari tanah liat, seperti zaman dahulu. "Saya nggak tergoda pakai mesin. Rasanya beda. Rasa itu bukan cuma soal resep, tapi soal hati. Kalau dibuat pakai tangan dan sabar, orang pasti ingat," katanya sambil menata bakpia ke dalam kotak kardus sederhana.

Salah satu pelanggan setia Pak Wahyu adalah Ibu Evi, warga Bekasi yang selalu menyempatkan mampir setiap kali mudik ke Jogja. "Saya selalu beli ke sini kalau pulang kampung. Rasanya beda, gurih, padat, dan nggak terlalu manis," tuturnya. Baginya, Bakpia Wahyu bukan sekadar kudapan, melainkan jembatan kenangan ke masa kecil, saat almarhum ayahnya sering membelikan bakpia ini sepulang dari pasar. Kini, Ibu Evi meneruskan kebiasaan itu ke anak-anaknya. "Anak saya pun suka. Mungkin karena dibuatnya masih pakai tangan, ada rasa yang nggak bisa digantikan mesin." Cerita serupa juga datang dari pelanggan lain yang tersebar dari Yogyakarta hingga luar Pulau Jawa. Beberapa bahkan memesan lewat telepon atau titip kerabat yang kebetulan sedang pulang kampung. Ada semacam ikatan emosional yang tak tergantikan dari produk rumahan seperti ini, ikatan antara rasa, kenangan, dan waktu.

Seiring waktu, selera pasar berubah. Wisatawan kini cenderung mencari oleh-oleh kekinian, yang tampilannya menarik dan mudah dijumpai di pusat oleh-oleh besar. Namun Pak Wahyu tak gentar. Meski omset tak sebesar dulu, ia memilih tetap bertahan dengan prinsip dan cara lamanya. "Yang penting saya masih bisa buat, masih ada yang beli, dan saya senang lihat orang senang makan buatan saya," katanya lirih. Baginya, membuat bakpia bukan semata soal bisnis, tapi juga soal keberlangsungan nilai: tentang ketelatenan, kejujuran dalam rasa, dan cinta yang dituangkan dalam setiap lipatan adonan. Mungkin inilah yang membuat pelanggannya tak berpindah hati, meski harus menyusuri gang kecil dan menunggu proses pembuatan yang tidak instan.

Dalam era serba cepat seperti sekarang, usaha kecil seperti Bakpia Wahyu adalah semacam oase yang mengingatkan kita bahwa ada nilai-nilai yang tak boleh dilupakan dalam proses produksi makanan: keaslian, kesabaran, dan hubungan antarmanusia. Sebagai pelaku usaha mikro, Pak Wahyu juga menghadapi tantangan yang tidak ringan, dari kenaikan harga bahan baku, sulitnya mencari tenaga kerja yang mau belajar teknik tradisional, hingga persaingan tak sehat dengan produk instan yang lebih murah dan masif pemasarannya. Tapi ia tetap bertahan. "Saya sempat mikir berhenti. Tapi tiap kali ada pelanggan yang datang dan bilang 'Bakpianya masih sama kayak dulu ya, Pak,' hati saya kayak disiram air sejuk," ujarnya sambil tersenyum.

Pak Wahyu menyadari bahwa usianya tidak muda lagi. Ia mulai melatih anak bungsunya untuk membantu di dapur, walau belum sepenuhnya tertarik menekuni usaha itu. Baginya, tak masalah jika nantinya bakpia ini harus berhenti. Tapi ia berharap, nilai dan cerita di baliknya tetap hidup di hati mereka yang pernah mencicipinya. "Kalau pun nanti anak saya nggak mau nerusin, ya sudah. Tapi semoga orang ingat, pernah ada bakpia di Srandakan yang dibuat pakai hati," ujarnya dengan nada pasrah sekaligus bijak.

Bakpia Wahyu bukan sekadar makanan ringan yang dibawa pulang dari Yogyakarta. Ia adalah cerita panjang tentang kesetiaan, tradisi, dan cinta yang dibungkus dalam adonan mungil berisi kacang hijau. Setiap gigitannya menyimpan jejak waktu, tangan-tangan sabar, dan kenangan masa lalu yang menyatu dalam rasa yang tak berubah. Di tengah dunia yang bergerak cepat dan berubah drastis, usaha seperti Bakpia Wahyu mengajarkan kita satu hal penting: bahwa tidak semua harus besar untuk bisa bermakna. Terkadang, justru dalam kesederhanaan, kita menemukan hal yang paling tulus dan abadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun