Pertama kali jalan-jalan ke Tokyo, kami memutuskan untuk melihat Imperial Palace.
Pergilah kami berdua ditemani oleh seorang teman dan anaknya naik kereta Chuo dari stasiun Shinjuku ke stasiun Tokyo.
Begitu di dalam kereta, satu hal yang langsung kami sadari: suasana senyap. Cuma bunyi mesin kereta yang terdengar kuat.
Satu gerbong terasa hening. Orang-orang antara sibuk dengan HP masing-masing, tidur, atau baca buku. Tidak kedengaran orang berbicara dengan suara keras. Kadang suara mengobrol sambil berbisik terdengar dari satu sudut. Tapi suasananya asli sepi.
Kami pikir, apa karena rush hour sudah lewat jadi tidak banyak penumpangnya?
“Waktu ramai orang juga hening, kok.” Teman kami berkomentar.
Ramai orang, tapi hening?
Akhirnya kami berdua jadi ikutan tidak mengobrol juga, diam-diaman. Komunikasi cuma di WA.
Kenapa bisa, ya?
Kami lihat, sih tanda larangan berbicara di HP ditempel di dalam gerbong. Larangan menelepon, kami pikir, masuk akal. Tapi kenapa orang-orang bisa juga tidak banyak bersuara?
Alasannya?
Menurut teman kami yang sudah lama tinggal di Tokyo ini; orang Jepang cenderung tidak suka menarik perhatian orang lain dengan berbicara keras-keras. Juga mereka merasa rikuh mengganggu orang lain dengan menimbulkan kebisingan. Untuk orang Jepang itu adalah suatu bentuk adat sopan santun dan etiket.
“Anak-anak balita juga sudah harus menerima bujukan pelan (atau keras) dari orang tua mereka kalau ribut atau menangis di kereta.” Teman kami menambahkan sambil berbisik.
Oh begitu …. Kami mengangguk-angguk. Tidak berani merespons nyaring.
“Enggak tahu kenapa, kalau anakku rewel, sorotan mata tajam langsung mengarah ke aku atau suami. Kebanyakan orang Jepang menganggap kalau anak rewel, orang tua harus bertanggung jawab jangan sampai mereka mengganggu sekeliling.”
Mendengar perkataan teman kami ini, aku jadi berpikir: repot juga para orang tua di Tokyo.
Di satu sisi, mereka harus memikirkan, keluar rumah harus jam berapa, ini? sebisanya menghindari jam-jam sibuk. Dan juga, mungkin mereka selalu khawatir si anak tiba-tiba rewel.
Tetapi di sisi lain, anak-anak mereka ini terdidik tata krama dari kecil sehingga tertanam sampai beranjak remaja dan dewasa.
Kami kembali berdiam-diaman, sibuk dengan pikiran masing-masing selama perjalanan dalam kereta.
Tiba-tiba.
“Shhh Abby. Shhh …, ini lihat HP, yuk! ada Doraemon, nih. Shhh … anak pintar,” terdengar teman kami sibuk membujuk anaknya.
Epilog
Pengalaman di kereta api membuat kami berdua berpikir, adat sopan santun/etiket di Jepang yang tidak mau mengganggu dan menghormati kenyamanan orang sekitar mungkin bisa kami tiru. Tapi pastinya tidak sampai membuat kami stres sendiri.
Bagaimana menurut pembaca?
******
Photo: May Wagiman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI