Mohon tunggu...
MAYA ELVIRA SARI BR GINTING
MAYA ELVIRA SARI BR GINTING Mohon Tunggu... Guru - GURU

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pragmatisme dalam Pendidikan

3 Oktober 2022   20:59 Diperbarui: 3 Oktober 2022   21:04 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

          Dengan sudut pandang etika tersebut, ini adalah sebuah perkembangan penting dalam pendekatan terhadap etika karena beberapa alasan: 1) sistem nilai etik peradaban Barat didasarkan pada aturan-aturan moral tersebut; 2) pendidikan moral bertalian dengan tradisi; 3) cara yang diterima dari pengajaran moral-moral itu dalam konteks kegamaan mereka dipengaruhi oleh Darwinisme dan Kritisisme Alkitab; dan 4) jika peradabn mempunyai kontinuitas, maka sebuah landasan baru bagi moralitas perlu ditemukan, sebuah landasan yang dapat diajarkan di sekolah-sekolah umum. Kalangan pragmatism mencetuskan sebuah pengujian aksiologis yang mereka percayai akan memecahkan problem sosial yang penting ini.

          Tidak semestinya disimpulkan dari pembicaraan di atas bahwa kalangan pragmatis setuju akan hal-hal tersebut sebagai firman (titah) universal atau aturan moral. Sebaliknya, mereka menganjurkan bahwa seseorang seharusnya belajar bagaimana membuat putusan-putusan moral yang rumit, tidak dengan bersandar pada prinsip-prinsip yang ditentukan secara kaku, melainkan lebih dengan menentukan rangkaian tindakan 'cerdas' yang kemungkinan melahirkan hasil-hasil yang terbaik dalam kaca mata manusia. Sungguh terjadi bahwa nilai-nilai Barat tradisional dapat disahkan lewat metode pragmatis, sementara pada saat yang sama nilai-nilai itu pun dibersihkan dari unsur-unsur 'keagamaan' yang tidak ilmiah yang tak dapat dipertanggungjawabkan pada pengujian pengalaman publik. maka, sebuah alasan pemikiran baru dapat dikembangkan untuk pengajaran etika tradisional dalam keadaan sedang menjadi sebuah masyarakat sekuler.

          Kriteria estetik bagi kalangan pragmatis juga ditemukan dalam pengalaman manusia, berlawanan dengan filsafat-filsafat tradisional yang menemukan kriteria penentu estetiknya di luar batas-batas pengalaman. Dewey dalam Art as Experience memberikan petunjuk bagi pendekatan kalangan pragmatis terhadap estetika. Sebuah jalan (cara)  yang mana penilaian estetik menempuhnya kiranya dapat disebut cita rasa sosial. Konsep-konsep tentang keindahan tergantung pada bagaimana orang-orang merasa tatkala mereka mempunyai sebuah pengalaman 'estetik'. Jika dalam kehadiran sebuah karya tertentu mereka melihat makna-makna baru dalam hidup dan mempunyai dimensi-dimensi perasaan baru yang memungkinkan mereka mampu berhubungan emosional secara lebih baik dengan para sejawat, maka mereka sedang mengalami (menyaksikan) sebuah karya seni yang indah. Dari perspektif ini, kalangan pragmatis mau menghapus perbedaan antara seni bagus dan praktis. Kedua kategori tradisional ini masuk ke dalam pengalaman manusia dan dapat membawa pada apresiasi estetik.

Pragmatisme dan Pendidikan

          Persoalan penting tentang pelajar, dari sudut pandang epistemologis kalangan pragmatis adalah bahwa ia merupakan subjek yang memiliki pengalaman. Ia adalah individu yang mengalami, sehingga menjadikannya mampu menggunakan kecerdsasannya untuk memecahkan situasi-situasi problematis. Seorang pelajar (dalam) belajar sebagaimana ia bertindak terhadap lingkungannya, dan pada gilirannya, dirangsang bertindak oleh lingkungannya setelah ia mengalami berbagai konsekuensi dari tindakannya. Bagi kalangan pragmatis, pengalaman sekolah adalah sebuah bagian dari hidup. Dengan demikian, cara seseorang belajar di sekolah tidaklah berbeda secara kualitatif dari cara ia belajar dalam aspek-aspek lain kehidupannya. Selama melewati hari-harinya, pelajar menghadapi berbagi problem  yang menyebabkannya mengalami 'tindakan penuh dari pemikiran reflektif'. Dampak penggunaan kecerdasan itu memungkinkannya berinteraksi dan beradaptasi dengan dunia ynag berubah. Ide-gagasannya yang berkembang menjadi sarana untuk bisa hidup berhasil.

          Guru dalam konteks pendidikan pragmtiki bukanlah seorang guru dalam pengertian tradisional. Yakni ia bukanlah seseorang yang 'mengetahui' apa yang dibutuhkan para subjek didik di masa depannya dna karenanya mempunyai fungsi menenmkan unsur esensial pengetahuan pada diri subjek didik. Sebab, tutur kalangan pragmatis, tak seorang pun 'mengetahui' apa yang dibutuhkan para subjek didik karena kita hidup dalam sebuah dunia yang senantiasa berubah. Kenyataan ini, seiring dengan gagasan bahwa tidak ada sesuatupun sebagai kebenaran apriori atau kebenaran absolut yang semua subjek didik harus tahu, telah mengubah peran guru.

          Guru dalam aliran pragmatis dapat dilihat sebagi pendamping subjek didik dalam pengalaman pendidikan karena seluruh aktivitas kelas setiap harinya menghadapi dunia  yang berubah. Namun, guru adalah pendamping yang lebih berpengalaman dan karenanya dipandang sebagai pemandu atau pengarah. Ia adalah ornag yang menasihati dan memandu aktivitas-aktivitas subjek didik, dan ia melaksanakan peran ini dalam konteks pertimbangan pengalamannya yang lebih luas. Akan tetapi perlu di catat, ia tidak mendasarkan aktivitas-aktivitas kelas pada apa yang merasa ia butuhkan.

          Filsafat-filsafat tradisional meletakkan materi pengajaran pada inti perhatian pendidikan, sedangkan subjek didik dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan program kurikuler. Pragmatisme menolak pendekatn ini dan menempatkn subjek didik dan kebutuhan-kebutuhannya pada posisi inti. Materi pengajaran, tutur pragmatisme, harus dipilih dengan melihat pada kebutuhan-kebutuhan subjek didik.

          Kurikulum, menurut Dewey dan kalngan pragmatis lainnya, tidak boleh dibagi ke dalam bidang materi pengajaran yang membatasi dan tidak alamiah. Kurikulum kiranya perlu dibangun atas dasar unit-unit yangalamiah (wajar) yang tidak menimbulkan persoalan dan pengalaman yang menekan para subjek didik. Unit-unit khusus dari studi bisa saja berbeda dari tingkat kelas empat dan seterusnya, akan tetapi ide utamanya adalah bahwa materi pengajaran tradisional sekolah (seni, sejarah, ilmu pasti, membaca, dan lainnya) dapat dianyam ke dalam sebuah teknik p[emecahan masalah (problem solving) yang menggunkaan naluri keingintahuan para subjek didik untuk mempelajari materi-materi pengajaran tradisional seperti mereka menggeluti berbgai problem dan isu yang sangat6 menarik buat mereka dalam pengalaman keseharian.

          Metodologi bagi kalangan pragmatis berorientasi pada pemberian kebebasan yang besar untuk memilih kepada para subjek didik dalam mencari-cari situasi-situasi pengalaman beljar yang akan menjadi hal yang paling berguna bagi mereka. Ruang kelas (yang dilihat tidak hanya sebagai sebuah setting 'sekolah', malainkan juga tempat di mn segala pengalaman beljar dapat diselenggarakan) dipandang dalam kaca mata sebuah laboratorium ilmiah di mana ide-gagasan siap diuji coba untuk melihat apakah terbukti sanggup diverifikasi. karyawisata, tutur kalangan pragmtis, terbukti telah memberikn keuntungan-keuntungan belajar melebihi aktivitas-aktivitas belajar seperti membaca dan pengalaman audio-visual karena subjek didik mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berpartisipasi dalam interaksi langsung dengan lingkungan, meskipun karyawisata dan pengalaman-pengalaman nyata lainnya dengan lingkungan dinilai banyak memakn waktu. Di sisi lain, karyawisata dan pengalaman-pengalaman nyata tadi dipandang lebih memotivasi karena melibatkan subjek didik dalam pengalaman langsung, tidak sekedar pengalaman tidak langsung . Sebagai contoh, seseorang akan lebih banyak belajar tentang pembuatan susu dan sapi perah dengan pergi langsung ke perusahaan pembuatan susu dan  memerah susu, mambaunya, dan mendengar suara sapi daripada sekadar membaca buku dan melihat proses pembuatan susu pada layar TV. Jadi, metodologi kalangan pragmatis berkaitan langsung dengan epistemologi eksperimental mereka. Teknik (metode) unggulan kalangan pragmatis adalah metode proyek, yang nanti akan dikemukakan dalam pembahasan tentang progresivisme.

          Perlu dicatat, dengan metodologi eksperimental tadi tidak berarti bahwa semua kalangan pragmatis menolak buku-buku, perpustakaan, museum, dan sumber-sumber pengetahuan yang terorganisir lainnya. Dewey, misalnya, menandaskan bahwa semua studi 'pada permulaannya' harus 'berada dalam lingkup pengalaman hidup yang biasa'. Setelah seseorang matang dan membangun sebuah pengetahun yang bermakna berdasarkan pengalaman, maka bagaimana juga ia harus mampu sampai pada tingkatan di mana ia dapat belajar lewat pendekatan-pendekatan logis dan tidak langsung terhadap materi pengajaran  yang terorganisir. Dengan kata lain, subjek didik, menurut Dewey, harus  secara bertahap berangkat dari belajar atas dasar pengalaman-pengalaman langsung menuju ke metode-metode belajar atas dasar pengalaman orang lain. Metode-metode tak langsung demikian ini kemudian menjadi lebih berguna karena mereka dilandaskan pada sebuah pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang memadai dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun