Mohon tunggu...
MAYA ELVIRA SARI BR GINTING
MAYA ELVIRA SARI BR GINTING Mohon Tunggu... Guru - GURU

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pragmatisme dalam Pendidikan

3 Oktober 2022   20:59 Diperbarui: 3 Oktober 2022   21:04 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

          Beberapa penganut pragmatisme menolak bahwa pemikiran filosofis mereka sungguh memiliki sebuah metafisika. Ini takdiragukan lagi berkaitan dengan kenyataan bahwa metafisika tradisional memberikan perhatian pada lingkup dunia 'absolut' dan 'puncak' dari relitas di luar jangkauan pengalaman empiris manusia. kalangan pragmatisme, di satu sisi, menganggap bahwa jika di sana terdapat suatu tatanan realitas semacam itu, umat manusia tidak mempunyai cara untuk mengetahuinya. Dari sudut pandang kalangan pragmatis, akal-pikir kejiwaan (mind) dan materi (matter) bukanlah dua hal yang terpisah dan substansi yang independen. Orang-orang hanya mengetahui tentang materi sebagaimana mereka mengalaminya dan berefleksi atas dasar pengalaman ini dengan akal-pikir kejiwaan mereka. Dengan demikian, realitas tidak pernah terpisahkan dari manusia yang mengetahui.

          Dari persepektif penganut pragmatisme, manusia hidup seperti yang digambarkan Plato sebagi gua persepsi indrawi. Hal ini, tutur mereka, bukan merupakan jumlah keseluruhan realitas, namun suka atau tidak, gua itu adalah keseluruhan apa yang kita punya. Kita hidup di senuah dunia pengalaman dan tidak mempunyai cara mengetahui jika apa yang dituturkan banyak orang berada di luar pengalaman manusia mempunyai kebenaran atau realitas.

          Dengan perjalanan waktu, pengalaman manusia berubah dan karenanya konsep pragmatisme tentangrealits pun berubah. Skema metafisikanya mengakui tiadanya hal absolut, tiadanya prinsip-prinsip apriori, atau pun hukum-hukum alam yang tak berubah. Realitas bukanlah 'sesuatu' yang abstrak; ia lebih sebagai sebuah pengalaman transaksional yang terus-menerus berubah. Sebagaimana dikatakan William James: " manusia hidup dalam suatu dunia dengan tutup terbuka." Dewey, seperti James, "berpaling dari pendapat-pendapat lama tentang sebuah dunia yang tertutup dengan batas-batas baku dan kemungkinan-kemungkinan yang terbatas. :Kalangan pragmatisme menegaskan bahwa relitas kosmologis mengalami perubahan selama berabad-abad silam. Sebagai contoh, realitas kosmik selama beberapa abad berpusat di seputar teori geosentris yang menempatkan bumi yang tak bergerak pada inti alam semesta; lalu pengalaman Copernicus yang berpengaruh luas menyetujui perkembangan 'realitas' heliosentris; dan perluasan pengalaman selanjutnya di abad XX membawa pada suatu pandangan baru tentang 'realitas' yang bertumpu pada relativitas universal (kesemestaan). Oleh karena itu, tutur kalangan pragmatis, realitas tidaklah terbakukan melainkan berada dalam suatu keadaan yang berubah terus-menerus sebagaimana pengalaman manusia yang kian meluas. Apa yng 'benar' hari ini kemungkinan menjadi tidak benar esok hari karena realitas tidak dapat dipisahkan dari pengalaman, lebih dari sekadar materi yang mungkin (masih) dipisahkan dari roh kejiwaan. Kita hidup dalam alam yang dinamis yang mengalami perubahan terus-menerus, dan demikianlah hukum-hukum ilmiah, yang didasarkan pada pengalaman manusia yang terbatas, harus dinyatakan dalam istilah probabilitas daripada dalam istilah absolut.

Kebenaran sebagai Apa yang Berguna dan Berfungsi.

          Pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah usaha epistemologis. Pengetahuan, menurut pengetahuan pragmatis, berakar pada pengalaman. Manusia mempunyai akal-pikir kejiwaan yang aktif dan menjelajah bukan sekadar akal-pikir kejiwaan yang pasif dan resptif. Sebagai akibatnya, manusia tidaklah begitu saja menerima pengetahuan; ia mencipta pengetahuan karena ia berinteraksi dengan lingkungan. Jadi, usaha pencarian pengetahuan adalah sebuah transaksi. Manusia berbuat terhadap lingkungannya kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia belajar dari pengalaman transaksionanya dengan dunia yang mengitari.

          Pembicaraan yang paling ekstensif dan jelas tentang metode epistemologis pragmatis untuk mengubah pengalaman menajadi pengetahuan dikemukakan oleh Dewey dalam How We Think pada tahun 1910 M. Menurut Dewey, proses berpikir reflektif kiranya dapat dilihat sebagai memiliki lima tahapan. Tahap pertama, manusia selama ia menjalani hidupnya secara aktif menjumpai suatu persoalan atau keadaan mengganggu yang untuk sementara waktu menghambat kemajuannya. Keadaan ini memberikan sebuah momen keraguan, yang pada waktu proses pemikiran muncul, akal-pikir mulai memfokuskan pada persoalan yang ada. Tahap kedua adalah 'intelektualisasi' dari pada apa yang mula-mula merupakan sebuah respons emosional terhadap aktivitas yang terhalang. Selama tahapan ini, langkah-langkah diambil oleh seseorang untuk mendiagnosis keadaan dan untuk menguasai hakikat persoalan yang sebenarnya. Tahap ketiga meliputi inventarisasi solusi-solusi yang mungkin itu berfungsi sebagai 'gagasan-gagasan pemandu' atu hipotesis-hipotesis. Tahap keempat adalah upaya penalaran setelah solusi-solusi yang mungkin dari tahap ketiga tadi diperkirakan konskuensi-konsekuensinya jika dilakukan. Akal pikir bertindak merenung dalam alur pemikiran  yang berjalan dari sebab ke akibat sebagai usaha memperkecil pilihan-pilihan dari berbagai hipotesis terbukti salah, maka seseorang tadi harus kembali setidaknya ke tahap keempat dan mencari kebenaran dalam hipotesis pengganti.

          Pada titik inilah penting untuk disadari bahwa pengetahuan dari perspektif pragmatis perlu secara hati-hati dibedakan dari kepercayaan. kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) adalah suatu persoalan yang bersifat pribadi, namun apa yang ia anggap perlu dikatahui (to know) harus dapat dideminstrasikan kepada pengamat yang qualified dan tak berpihak. Dengan kata lain, kepercayaan (keimanan) adalah hal pribadi, sedangkan pengetahuan adalah hal yang senantiasa bersifat publik. Kalangan pragmatis mencatat bahwa sungguhpun beberpaa kepercayaan mungkin didapati pada pengetahuan, tentunya banyak darinya tidak didapati pada pengetahuan. Dari sudut pandang kalangan pragmatisme, sebuh pernyataan yang dianggap sebagai kebenaran adlaah pernyataan yang bisa diaungkapkan dalam bahasa "jika...maka..." dan bisa diuji dengan pengalaman empiris yang bersifat publik.

          Pendapat epitemologis kalangan pragmatis tidak membari tempat segala sesuatu yang berupa konsep-konsep apriori dan Kebenaran-kebenaran Absolut. Manusia hidup dalam dunia pengalaman yang berubah dan meluas terus-menerus dan ''apa yang berguna dan berfungsi' di hari ini bisa terbukti sebagai sebuah penjelasan yang tidak mencukupi lagi di esok hari. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relatif dan apa yang benar hari ini bisa tidak benar di waktu mendatang atau dalam konteks situasi yang berbeda.

Nilai-nilai dari Masyarakat

          Aksiologi pragmatisme secqara langsung terkait dengan epistemologinya. Sebagaiman manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran dan pengetahuan, demikian pula is bertanggungjawab atas nilai-nilai. Nilai-nilai bersifat relatif dan tidak ada prinsip-prinsip absolut yang dapat kita sadari. Sebagaimana budaya berubah, demikian juga nilai-nilai pun berubah. Ini tidak berarti bahwa moralitas harus mengalami pasang surut dari hari ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan aksiologis yang dapat dianggap sebagai hal yang mengikat secara universal.

          Dalam dunia etika, kriteria perilaku yang baik dapat dirumuskan, dari sudut pandang kalangan pragmatis, apa yang 'berguna dan berfungsi'. Dengan demikian, perlu dicatat bahwa sebagaimana pengujian epistemologis itu suatu hal yang bersifat publik, maka demikian halnya kita temukan bahwa pengujian etis itu didasarkan pada hal yang baik menurut sosial masyarakat dan tidak semata-mata didasarkan pada landasan personal atau bersifat pribadi. Sebagai contoh, "Jika tujuanku adalah untuk meraih kekayaan, maka aku mungkin beranggapan bahwa akan tercapai tujuanku jika aku menjadi seorang pencuri. Dalam cara ini aku secara pribadi akan mencapai suatu tingkat kekayaan tertentu. Karena hasil yang diraih adalah kepuasan, dalam arti sesuatu yang telah menjadikanku kaya, aku mungkin tergiur untuk beranggapan bahwa hal ini bermoral. "Namun, tutur kalangan pragmatis, ketika hal itu mungkin berguna dan berfungsi bagi seseorang, ia jelas tidak mungkin berguna dan berfungsi bagi seseorang, ia jelas tidak mungkin berguna dan berfungsi bagi sistem sosial secara utuh karena tak seorang pun akan mampu mengumpulkan kekayaan jika setiap orang yang lainnya berbuat mencuri. Dengan demikian ketika diletakkan pada pengujian publik, tindakan mencuri gagal menjadi berguna dan tidak bisa dirumuskan sebagai hal baik atau bermoral karena ia akan membuat kehidupan yang berkeadaban menjadi tidak mungkin terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun