Sejak awal tahun  2025, The Fed ( Federal Reserve ) bank sentral Amerika Serikat secara bertahap menaikan suku bunga acuannya untuk meredam  inflasi yang tinggi dinegara mereka. Namun, efek dari kebijakan  ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Amerika saja tetapi juga memiliki efek rambatan (spillover effect) yang turut mengguncang pasar-pasar di Asia, termasuk di Indonesia.
Suku bunga ini berperan besar dalam menentukan arus modal karena dolar AS adalah mata uang utama dunia, suku bunga yang tinggi di Amerika Serikat membuat para investor global tergoda untuk memindahkan dananya ke Amerika demi return atau imbal hasil yang lebih besar dengan resiko yang relatif lebih rendah. Kenaikan suku bunga AS membuat aset dalam dolar menjadi menarik pula. Akibatnya, terjadi aliran modal keluar ( Capital Outflow ) dari negara-negara berkembang seperti Indonesia yang dimana ini akan berdampak kepada nilai tukar dari Rupiah menjadi  melemah.
Pada kuartal pertama 2025,The Fed telah menaikkan suku bunganya ke level 5,5% utnuk menekan inflasinya, hal ini membuat nilai tukar Rupiah melemah dari Rp 15,300 menjadi Rp 15,900 per dolar AS dalam waktu kurang dari sebulan. Hal ini tentunya memberikan dampak kepada sektor riil, konsumen, dan dunia usaha dikarenakan Indonesia yang masih mengandalkan dan bergantung pada produk impor sehingga membuat biaya barang dan jasa yang dibeli dari luar negri menjadi lebih mahal dalam Rupiah, seperti bahan baku industri (komponen elektronik), barang konsumsi elektronik ( smarthphone, laptop), serta BBM dan Energi karena sebagiam besar minyak mentah dan LPG kita masih impor dari luar yang pada akhirnya hal ini akan mendorong terjadinya kenaikan harga barang di pasar (inflasi).
Selain itu, sepanjang Maret 2025 investor asing melakukan aksi jual bersih ( net sell) yang signifikan dipasar saham  Indonesia. Pada 21 Maret 2025, net sell asing mencapai Rp 7,5 Triliun, dengan pejualan terbesarmya terjadipada saham-saham perbankan besar seperti PT Bank Central Asia (BBCA) sebesar Rp 4,05 Triliun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar Rp 1,5 Triliun, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Sebesar Rp 1,24 Triliun, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 806 Milyar. Hal ini memberikan tekanan yang besar terhadap IHSG. Pada Selasa, 18 Maret 2025, IHSG anjlok higga 6,12% ke level 6.076 pada sesi pertama perdagangan, sebelum ditutup melemah 3,84% kepoisi 6.223,39 pada akhir perdagangan di BEI. IHSG tercatat turun 4,93% dalam sepekan terakhir, sedangkan sejak awal tahun IHSG turun 12,1%.
Kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed pada Maret 2025 ini juga menyebabkan  IHSG mengalami penurunan signifikan terutama pada sektor teknologi dan properti. Sektor teknologi mengalami penurunan yang signifikan yaitu pada 14 Maret 2025, sektor teknologi turun hingga 12,71%, menjadi sektor dengan penurunan terjauh pada hari tersebut. Beberapa saham teknologi yang mengalami penurunan yaitu, PT DCI Indonesia Tbk (DCII) turun 20%, PT Indointernet Tbk (INET) turun 18,18%, dan PT Bank Jago Tbk (ARTO) turun 4,11%. Selain itu sektor properti juga terdampak pada hari yang sama mengalami penurunan 1,44% yang dimana akibatnya biaya pinjaman menjadi meningkat yang berdampak pada permintaan properti dan menekan harga saham disektor ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI