Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa kita begitu gigih mencari pekerjaan, banting tulang membangun karier atau usaha sendiri, tapi pada akhirnya sebagian penghasilan itu langsung dipotong untuk pajak?Â
Kita tahu ini adalah kewajiban, kontribusi untuk jalan, rumah sakit, dan layanan publik lainnya. Namun, bukankah ada ironi yang terasa pahit di sana? Jika negara berhak mengambil jatah dari setiap keringat yang kita hasilkan, mengapa negara seolah absen dalam membantu kita menemukan atau bahkan menciptakan pekerjaan itu sendiri?
Ini bukan soal menolak kewajiban membayar pajak. Ini tentang menyoroti sebuah ketidakseimbangan yang sering kali kita rasakan. Di era informasi yang serba cepat ini, pasar kerja masih terasa seperti medan perang. Jutaan orang berjuang setiap hari melamar pekerjaan, mengikuti kursus ini dan itu, bahkan memberanikan diri merintis usaha kecil dengan modal seadanya. Semua itu mereka lakukan, sering kali sendirian, bermodalkan inisiatif pribadi dan kegigihan yang luar biasa.
Di Mana Peran Negara?
Memang, negara punya berbagai program pelatihan. Tetapi, mari jujur, seberapa efektifkah semua itu jika dibandingkan dengan skala masalah pengangguran dan tantangan mencari kerja yang sebenarnya? Sering kali, program-program ini terasa seperti setetes air di tengah gurun yang amat luas, begitu cepat diserap dan mengering Ketika menetes. Informasi yang sulit diakses, birokrasi yang berbelit-belit dan materi pelatihan yang kurang relevan, membuat banyak niat baik tidak sampai pada tujuan.
Bayangkan ini, Anda menghabiskan waktu berjam-jam mengirim lamaran, menghadapi wawancara yang melelahkan, dan mungkin berulang kali ditolak. Atau Anda berani merintis usaha, pontang-panting mencari modal, mengurus perizinan, dan bersaing ketat di pasar. Semua perjuangan itu Anda lalui dengan mandiri. Namun, begitu ada penghasilan -besar atau kecil- negara langsung hadir melalui sistem perpajakannya. Pendapatan Kena Pajak, PPN, PPH, dan berbagai pungutan lainnya menjadi pengingat konstan bahwa 'ada bagian dari keberhasilan finansial Anda, yang Anda raih dengan jerih payah sendiri, yang wajib disetor ke kas negara'.
Mencari Keseimbangan yang Adil
Bukankah seharusnya ada semacam keseimbangan? Jika negara memiliki hak untuk mengambil bagian dari hasil keringat kita, bukankah logis jika negara juga memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam memfasilitasi atau menciptakan iklim yang kondusif agar setiap warga negara bisa mendapatkan pekerjaan yang layak? Ini bukan hanya tentang membuka lapangan kerja di sektor formal. Ini juga tentang bagaimana negara bisa lebih serius mendukung ekosistem kewirausahaan, mempermudah akses modal bagi UMKM, atau menyediakan pendampingan berkelanjutan agar usaha kecil bisa tumbuh dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Tentu, pajak kita digunakan untuk membangun infrastruktur, menjaga keamanan, dan menyediakan layanan dasar -itu semua penting. Namun, bagi individu yang berjuang mencari nafkah, beban pajak sering kali terasa lebih berat ketika dukungan nyata dalam perjalanan mencari atau menciptakan pekerjaan itu terasa minim.
Ini adalah sebuah refleksi, bukan kritik kosong. Melalui tulisan ini, penulis mau mengajak kita semua merenungkan kembali dinamika hubungan antara warga negara dan negara. Ketika kita membayar pajak, kita memberikan kepercayaan kepada negara. Kepercayaan bahwa dana itu akan digunakan secara optimal, tidak hanya untuk pembangunan fisik, tetapi juga untuk pembangunan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan kita semua. Tentu saja termasuk membantu setiap individu untuk bisa mandiri secara ekonomi dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!