Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Nostalgia Masa Kecil, Nonton TV Hitam Putih hingga Meletuskan Mercon di Bulan Ramadan

19 April 2021   10:24 Diperbarui: 19 April 2021   18:01 2386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak zaman now mengganti mercon dengan basoka-basokaan yang dibuat dari rangkaian kaleng bekas rokok (Dokumentasi Mawan Sidarta)

Masa kecil memang enak untuk dikenang. Bukan cuma kebahagiaan saja yang menemani masa kecil kami. Kesulitan atau kesedihan juga sempat menghampiri kami. Lengkap sudah pengalaman kami, ada suka juga ada duka. 

Masih segar di ingatan, saya termasuk yang telat berlatih menunaikan ibadah puasa. Saya mulai belajar menahan diri dari makan dan minum sejak kelas empat SD. Meski belum sempurna karena puasa saya kala itu cuma sampai lohor saja he..he..(puasa bedug). 

Nonton TV hitam putih 

Puasa memang belum sempurna, tapi yang namanya kesukaan nonton TV dan bermain-main jangan ditanya. Sudah pasti TV dan mainan anak zaman old (jadul) berbeda dengan mainan anak-anak zaman now yang sangat familiar dengan smartTV, smartphone, games online dan teknologi internet serta beragam gadget lainnya. 

Dulu, bisa lihat TV hitam putih saja sudah merupakan hiburan yang sangat menarik. TV merupakan barang mewah kala itu. Jarang orang di kampung saya yang punya TV. Waktu itu sambungan listrik PLN juga belum begitu banyak. 

Almarhum Bapak masih pakai aki (accumulator) untuk menghidupkan TV dan bila stroom (setrum) nya sudah habis maka saya dan kakak perempuanlah yang mesti bawa itu aki ke jasa setrum aki yang letaknya lumayan jauh dari rumah kami. 

Meletuskan mercon 

Puasaan bukannya khusyu menunaikan ibadah puasa dan sholat tarawih tapi malah mengisi bulan suci itu dengan acara bermain-main. 

Namanya juga usia masih anak-anak yang identik dengan bermain dan bermain. Almarhumah ibu sampai marah betul ketika saya menghabiskan uang jajan hanya untuk membeli mercon (petasan). 

Saya juga kena marah sebagian tetangga karena tak tahu waktu. Siang hari dimana banyak tetangga sedang beristirahat, saya malah kelayapan sambil membunyikan mercon bersama beberapa teman sebaya. 

Sontak saja, bunyi mercon yang memekakkan telinga itu bikin kaget para tetangga dan sebagian dari mereka bangun dari tidur siangnya lalu tak segan-segan mendamprat kami yang masih ingusan. 

Mercon kala itu ragamnya masih belum sebanyak mercon zaman now. Paling yang biasa saya dan teman-teman nyalahkan berupa mercon bantingan, mercon sulut yang terdiri dari mercon letek, mercon kacangan, mercon sreng dor, mercon bumbung, mercon karbit, mercon tentengan dan yang paling simpel adalah mercon busi. 

Mercon bantingan, untuk membunyikannya harus dibanting terlebih dulu. Seingat saya mercon bantingan ini dibuntal kertas berwarna putih, dibentuk bundar-bundar (tidak bundar sekali sih). Ukurannya sedikit lebih besar dari kelereng. 

Mercon letek ukurannya kecil dan mercon kacangan agak besar. Keduanya menggunakan benang sumbu untuk meletuskan sehingga menghasilkan bunyi. Sesuai ukurannya, bunyi letusan yang ditimbulkan juga berbeda. Mercon kacangan bunyi ledakannya lebih keras ketimbang mercon letek. 

Mercon sreng dor kalau sekarang ya mirip dengan kembang api yang bisa meluncur ke atas dan menimbulkan bunyi letusan di angkasa. Biasanya menggunakan lidi bambu sebagai pegangan. 

Tapi sreng dor sangat simpel sedangkan kembang api lebih canggih dan menimbulkan ledakan lebih keras serta percikan api berwarna-warni selanjutnya membentuk pola (gambar) tertentu yang indah. 

Potongan bambu bisa juga dimanfaatkan untuk mercon. Mercon bumbung namanya. Seruas bambu dengan diameter lumayan besar (10-15 sentimeter) dipotong sepanjang satu meter. Lalu bagian yang beruas dibobol sehingga menyerupai pipa dengan salah satu lubang masih tertutup ruas. 

Salah satu dinding bambu dekat ruas dilubangi untuk memasukkan cairan minyak tanah. Mercon jenis ini mungkin sudah tidak ada lagi alias sudah punah he..he..he..mengingat minyak tanah sebagai bahan mesiunya sudah semakin sulit ditemukan atau bahkan nyaris tidak ada. 

Mercon karbit (kalsium karbida), menghasilkan bunyi dentuman yang lumayan keras. Teman-teman kecil saya sering membuat mercon ini di lapangan yang masih penuh rumput ilalang di belakang rumah. 

Caranya dengan terlebih dulu membuat lubang di tanah sedemikian rupa, lalu bongkahan karbit dimasukkan dalam cawan berisi air. 

Gas (asap) yang ditimbulkan oleh karbit itulah yang ditahan dengan penutup tertentu lalu disulut api dengan bantuan potongan bambu berukuran dua meter atau lebih agar bunyi dentuman yang ditimbulkan tidak terlalu memekakkan telinga si penyulut. Konstruksi lubang juga harus kuat mengingat ledakkan yang ditimbulkan karbit itu juga cukup keras. 

Mercon rentengan sama seperti mercon letek atau kacangan yang dirangkai dengan panjang tertentu. Mulai mercon berukuran kecil sampai besar dengan bunyi letusan yang semakin keras pula. 

Mercon busi, mercon jenis ini barangkali yang paling murmer sebab mesiunya menggunakan pentol korek api. Dulu masih populer korek api jes, dikemas dalam kotak kecil yang dilengkapi kertas pemantik untuk menggesekkan bagian pentolnya. 

Sekarang mungkin posisinya digantikan oleh korek gas. Busi bekas mudah dicari. Tinggal membuang bagian ujung yang biasanya menghasilkan pengapian. 

Lubang busi yang sudah bersih kemudian dijejali mesiu dari pentol korek api tapi jangan terlalu penuh. Kemudian ditutup dengan baut (bolt) bekas berukuran sama dengan lubang busi namun masih memungkinkan untuk keluar masuk dengan mudah (tidak terlalu sesak). 

Salah satu ujung baut tetap diikat di busi agar tidak terlepas. Ujung busi dihiasi dengan rumbaian tali rafia. Selanjutnya busi dengan serbuk mesiu yang telah ditutup baut bisa dilepar ke atas dan jatuh ke bagian tanah atau ubin yang keras lalu menimbulkan letusan. 

Bermain burung merpati 

Masih seperti zaman saya dulu, anak-anak zaman now juga suka bermain merpati (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Masih seperti zaman saya dulu, anak-anak zaman now juga suka bermain merpati (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Bermain burung, apakah itu burung pipit atau merpati biasanya dilakukan saat menunggu datangnya waktu berbuka puasa (ngabuburit). 

Burung merpati (dara) dan pipit merupakan jenis burung yang mudah dijinakkan sekaligus mudah ingat sangkarnya (homing). 

Bermain adu ketangkasan merpati atau pipit di lapangan terbuka atau sudut-sudut kampung yang agak luas kala itu menjadi permainan yang seru. 

Agar homing (Jawa = pomah) baik merpati maupun pipit harus terlebih dulu dipelihara dalam sangkarnya untuk beberapa lama, kira-kira sebulan. 

Berbecak ria 

Masih seperti zaman saya dulu, anak-anak zaman now juga suka bermain becak mini (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Masih seperti zaman saya dulu, anak-anak zaman now juga suka bermain becak mini (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Bagi anak-anak, bermain tak jarang lupa waktu, lupa kalau saat itu dirinya atau sebagian orang lainnya sedang menjalankan ibadah puasa. 

Berlarian ke sana kemari, bermain bola, bersepeda atau bahkan bersama teman sebayanya berbecak ria dengan mengayuh becak mini, bagi mereka tentu terasa hepi dan menghadirkan keseruan tersendiri. 

Klotekan, membangunkan orang untuk sahur 

Sekarang bunyi mercon dan bermain klotekan mulai jarang terdengar. Mungkin karena sebagian orang sudah semakin sadar dan realistis bahwa membunyikan mercon sejatinya hanya menghamburkan uang. 

Sebagian anak-anak di daerah saya kini mengganti mercon dengan bermain basoka-basokaan. 

Cara membuat permainan ini dengan merangkai puluhan kaleng bekas kemasan rokok hingga menyerupai pipa (peluncur) basoka. Lalu dipasang pemantik korek gas. Sebagai bahan mesiunya digunakanlah spiritus. 

Sebelum menekan triger (pemantik) spiritus yang sudah dimasukkan ke dalam pipa basoka terlebih dulu dikocok-kocok. Baru setelah itu tombol triger ditekan dan keluarlah bunyi letusan yang cukup keras dan mengagetkan siapa saja yang berada di dekatnya.

Apalagi kini masih merebak pandemi yang entah kapan usainya. Tokoh dan warga masyarakat mungkin akan melarang anak-anak berkerumun untuk bermain klotekan dengan alasan untuk menghindari transmisi Covid-19. 

Lagian sekarang zaman sudah serba digital. Alarm di smartphone bisa disetel sesuai jam (waktu) yang diinginkan agar seseorang bisa bangun malam untuk makan sahur. 

Peran announcer di langgar (musholla) atau masjid yang dengan setia berteriak-teriak membangunkan orang-orang untuk makan sahur juga semakin jarang terdengar. 

Mungkin mereka mulai malas dan juga berpikir realistis bahwa bangun di tengah malam untuk makan sahur bisa dilakukan secara mandiri tergantung niat seorang muslim untuk menunaikan ibadah puasa. 

Kalau toh perlu bantuan, cukup dengan menggunakan bunyi alarm smartphone saja. 

Anak-anak memang selalu menang. Baginya bermain adalah segalanya. Bahagianya tak bisa ditukar dengan materi meski sebesar gunung emas. Meski demikian, sebagai orangtua yang sayang pada anak, tetap perlu menanamkan nilai-nilai, memberikan keteladanan bahwa menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadan merupakan amaliah yang sangat berpahala dan lebih diutamakan daripada sekadar bermain-main semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun