Apa yang ada di benak (pikiran) kita ketika menyaksikan seseorang mengenakan pakaian batik? Apalagi kalau yang dipakai itu kemeja batik lengan panjang.Â
Tentu penilaian kita terhadap orang tadi akan berbeda bila dibandingkan dengan jika melihat seseorang yang berbusana ala kadarnya atau bahkan kaos oblong saja yang ia kenakan.Â
Tak lain dan tak bukan karena nilai rasa (image) ajining rogo soko busono (berharganya diri itu dari busana yang dipakai, red) ternyata masih melekat kuat di tengah masyarakat kita dan itu tak bisa dipungkiri.
Ketika berpapasan atau berjumpa dengan teman, saudara atau seseorang yang kita kenal dan kebetulan mereka sedang berkemeja batik, tak jarang kita bertanya "ada acara apa nih kok rapi amat" atau "mau kondangan ke mana".Â
Nah itu menandakan kalau batik merupakan busana yang spesial dan hanya dipakai ketika ada acara khusus, beberapa contohnya : undangan resepsi perkawinan atau akad nikah, pengajian warga dan rapat keluarga.Â
Pasti di antara kita juga sering menyaksikan kalau busana batik dikenakan seseorang saat bekerja (formal), misalnya bekerja sebagai pramugari pesawat, sebagai eksekutif atau staf di kantor, mengajar sebagai guru atau dosen, sebagai pejabat atau anggota dewan yang terhormat dan masih banyak lagi elemen masyarakat Indonesia yang mengenakan batik di tempat mereka mengabdikan dirinya.
Sentra batik di Indonesia
Jadi legenda busana batik diperkirakan dari ketiga kota di Jawa tadi. Sehingga muncul image, seseorang yang berbusana batik dianggap Wong Jowo (Orang Jawa, red). Padahal semua suku bangsa di Indonesia kini sudah akrab dengan busana dari kain batik.
Kabarnya nih tradisi kuno membatik juga sudah ada di beberapa daerah di luar Jawa, seperti Flores, Toraja, Halmahera dan Papua.Â