Sebelum bermukim dan mendirikan masjid di wilayah Ampel Denta yang kini bernama kawasan Sasak -- KH. Mas Mansyur itu, Sunan Ampel atau yang bergelar Raden Rahmat pada kurun waktu tertentu menyinggahi beberapa tempat di Surabaya.
Perjalanan dari Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto -- Jatim cukup melelahkan sehingga Sunan Ampel merasa perlu beristirahat sejenak di kawasan Kembang Kuning Surabaya. Di daerah ini beliau mendirikan surau kecil yang kelak bernama Masjid Rahmat Surabaya.Â
Masyarakat yang tak mengetahui asal-muasal surau tadi mengira kalau surau itu tiba-tiba ada sehingga sebagian orang menyebutnya sebagai masjid tiban. Konon Sunan Ampel hanya butuh waktu semalam dalam mendirikan Masjid Rahmat Kembang Kuning.
Usai menjalankan syiar, dakwah Islam dan mendirikan masjid di daerah Kembang Kuning Surabaya, Sunan Ampel kemudian melanjutkan perjalanan menuju kawasan Peneleh Surabaya.
Di Peneleh gang VI atau VII itu beliau bersama para pengikutnya bermukim untuk sementara waktu. Tak lama kemudian beliau membangun masjid yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Jamik Peneleh Surabaya.
Masjid Jamik Peneleh memiliki gaya arsitektur yang sangat menawan. Tiang-tiang penyangga (soko guru) di dalam masjid tetap dipertahankan seperti aslinya. Mengalami pemugaran beberapa kali, di masa pendudukan Belanda di Surabaya, gaya arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh rezim kolonialisme kala itu. Bagian mihrab masjid juga terlihat sangat unik, sepintas menyerupai tandon air.
Sampai pada kurun waktu tertentu, Sunan Ampel bersama para pengikutnya menetap di kawasan Ampel Denta Surabaya. Di sini beliau mendirikan masjid yang di kemudian hari bernama Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya.
Masjid Ampel dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sang sunan juga mendirikan pesantren dengan santri yang tersebar dari berbagai penjuru tanah air bahkan dari mancanegara juga ada.
Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 masehi dan diperkirakan wafat pada tahun 1481. Pusara beliau berada di sebelah barat Masjid Agung Ampel.
Beliau mengajarkan agar setiap muslim selain menunaikan Rukun Iman dan Rukun Islam juga menjauhi 5 perkara yang terkenal dengan istilah Mo Limo yaitu Mo main, Mo ngombe, Mo maling, Mo madat lan Mo madon (tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menyalahgunakan narkoba dan tidak berzinah, red).
Selain makam Sunan Ampel dan istrinya, di dalam kompleks pekuburan juga terdapat makam 2 santri Sunan Ampel yang sangat dikenang dan diteladani peziarah karena semasa hidupnya memiliki kisah yang unik.Â
Sonhaji atau Mbah Bolong (bolong = lubang) misalnya, beliau ini pengikut Sunan Ampel yang memiliki karomah bisa melihat ka'bah dari lubang yang dibuatnya saat menentukan arah kiblat Masjid Ampel.
Kisah tentang karomah Mbah Bolong ini mungkin tidak tercatat dalam sejarah namun digali berdasarkan cerita tutur dari generasi ke generasi. Sejarah bahkan tak pernah mengungkap siapa Mbah Bolong sebenarnya, kapan beliau lahir dan wafatnya, lalu apa perannya dalam perkembangan Islam di Surabaya dan sekitarnya.
Meski demikian sebagian umat Islam meyakini kalau Mbah Bolong memang pernah hidup di zaman Sunan Ampel dan pusaranyapun banyak diziarahi orang.
Lain lagi dengan Mbah Soleh. Murid Sunan Ampel yang satu ini semasa hidupnya bisa mati dan hidup kembali berturut-turut sebanyak 9 kali. Itu sebabnya mengapa jumlah kuburannya ada 9.
Mbah soleh dikenal sebagai juru pelihara, kalau sekarang mungkin sama dengan tukang sapu (cleaning service) Masjid Ampel. Kisah beliau juga digali dari cerita tutur dari masa ke masa. Mengenai kebenaran kisah Mbah Soleh ini hanya Allah sajalah yang Maha tahu. Yang pasti pusaranya juga tidak pernah sepi dari peziarah.