Mohon tunggu...
Celesta Maureen
Celesta Maureen Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Morinnnnnn

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Mengenali Perpaduan Budaya Jawa dan Tionghoa, Si Ramah dan Si Cuek

15 September 2022   12:17 Diperbarui: 15 September 2022   12:22 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara kepulauan maritim dengan beragam suku, ras, bahasa, dan budaya. Hubungan pertemanan, persaudaraan, dan pernikahan antar dua ras dan suku yang berbeda telah menjadi suatu hal yang lumrah. Perpaduan dari kedua budaya tersebut akan menghasilkan pola pikir budaya baru, dengan tetap membawa nilai-nilai dari budaya yang diajarkan. 

Hario (53) dan Mey (52) adalah pasangan suami-istri dari suku Jawa dan suku Tionghoa. Dalam keluarganya, mereka mengajarkan anak-anaknya berbagai nilai yang harus dijunjung dari budaya asal mereka. Berikut adalah perpaduan dari hasil budaya Jawa-Tionghoa dalam keluarga Hario dan Mey:



1. Si Ramah dan Si Cuek

Asumsi dan cara pandang akan bagaimana dunia bekerja akan membuat setiap budaya memiliki pola uniknya masing-masing (Samovar, 2016)

Suku Jawa terkenal akan keramahan dan kekerabatan yang masih kuat, seperti menyapa dengan senyuman ke orang asing dan mengucap kata "maaf" dan "terima kasih" tanpa pamrih. Meskipun hal tersebut juga dijunjung oleh suku Tionghoa, namun Mey mengatakan bahwa budayanya mengajarkan seseorang untuk menjadi mandiri, kuat, dan tidak ikut campur dalam konflik orang lain. Oleh karena itu orang Tionghoa akan terkesan lebih cuek karena mereka akan fokus ke dalam kehidupannya sendiri.

Anak-anak dari keluarga Hario dan Mey menerapkan kedua prinsip ini dalam kehidupan mereka. Sebagai wujud dari perpaduannya, sang kakak lebih condong ke arah cuek, dengan tetap memperhatikan tata krama, sopan santun, dan keramahtamahan. Sementara sang adik dapat dilihat memiliki sikap yang lebih ramah, namun tidak ingin terlibat dalam urusan orang lain.


2.  Si Cekatan dan Si Santai

Pada struktur terdalam, kita akan dapat melihat "mengapa" dan "bagaimana" budaya memiliki pola pikir dan aktivitas sedemikian rupa. (Samovar, 2016)

Budaya dari keluarga Hario mengajarkan Hario dan saudara-saudaranya untuk belajar menikmati hidup, menjalani segala momen yang ada, dan menjadi orang yang lebih bahagia pada detik itu juga. Menurut ajaran budayanya, hidup hanya dijalankan sekali dan orang harus menikmati tiap momen yang ada. 

Melihat dari sisi buruknya, gaya hidup Hario yang terlalu santai kadang menjadi hambatan tersendiri dalam menjalankan aktivitas pekerjaannya. Budaya dari keluarga Mey mengajarkan Mey dan saudara-saudaranya menjadi lebih cepat dan cekatan. Segala hal akan dilakukan secara cepat tanpa membuang-buang waktu karena waktu terbatas dan tidak dapat diputar kembali.

Perpaduan kedua hal ini menjadikan anak-anak dari keluarga Hario-Mey lebih sadar tentang pentingnya waktu. Sebagai ayah, Hario mengajarkan kedua anaknya untuk tidak terlalu santai karena dia sendiri telah merasakan efeknya. Namun, gaya hidup yang santai juga tetap dipupuk sehingga anak-anaknya terhindar dari penyakit seperti kelelahan, depresi, dan sebagainya. Sang kakak lebih condong ke budaya Mey, sehingga dia selalu menekankan pentingnya waktu. Sedangkan sang adik mencampur kedua budaya tersebut sama rata.


3. Si Cari Aman dan Si Cari Pengalaman

Keluarga merupakan tonggak utama yang mengajarkan mengenai identitas dan cara seseorang akan bergabung ke masyarakat melalui budaya bawaannya (Samovar, 2016)

Hario berkata bahwa salah satu hal terpenting di dalam kebudayaan keluarganya adalah keberanian untuk mencari dan mengambil resiko, baik itu dalam hal investasi bisnis, mencari lapangan pekerjaan baru, keberanian untuk mengambil alih tanggung jawab, dan lain sebagainya. Budaya tersebut datang dari kedua orang tua Hario yang merupakan pedagang, sehingga Ia menjadi seseorang yang terus ingin menjelajahi bisnis-bisnis lain dan tidak diam di satu bisnis saja.

Melihat dari budaya di keluarga Mey, suku Tionghoa di keluarganya suka bekerja dan selalu bekerja giat dengan tujuan utama, yaitu untuk beristirahat di masa tua. Itu sebabnya keluarga Mey memilih untuk menekuni dan mengembangkan satu bisnis. Mey mengaku bahwa dirinya lebih menyukai berada di zona amannya dalam berbisnis, dibandingkan dengan Hario yang mencari kesempatan di lapangan usaha yang lain.

Kedua kebudayaan yang berbeda ini juga diturunkan kepada anak-anak Hario dan Mey. Sang kakak dengan pendirian untuk menekuni beberapa bidang dan mencari pengalaman untuk dijadikan batu pijakan, dan sang adik yang lebih condong ke prinsip Mey dengan menekuni hanya satu bidang saja. Namun, setelah melihat dan belajar dari kesalahan kedua orang tuanya, kakak-beradik itu menjadi sadar bahwa dua prinsip itu harus dijalankan secara seimbang dan tidak seharusnya mencondong ke satu arah saja.


Daftar Pustaka:

Samovar, L., A., Porter., R., E., McDaniel., E., R. & Roy, C., S. (2016). Communication Between Cultures:14th Edition. Cengage Learning: USA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun