Di tengah upaya membangun sistem pendidikan yang merata dan berkualitas, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam menjangkau wilayah 3T: Tertinggal, Terdepan, dan Terluar. Ketimpangan akses terhadap pendidikan di daerah-daerah ini menjadi isu strategis yang memengaruhi masa depan generasi penerus bangsa.
Potret Pendidikan di Wilayah 3T
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hingga tahun 2024 terdapat lebih dari 140 kabupaten/kota yang dikategorikan sebagai daerah 3T. Sebagian besar tersebar di Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan wilayah kepulauan seperti Maluku. Di daerah-daerah ini, tantangan utama meliputi: minimnya tenaga pendidik berkualitas. Laporan Kemendikbudristek tahun 2023 menyebutkan bahwa rasio guru bersertifikat di wilayah 3T jauh lebih rendah dibandingkan daerah perkotaan, fasilitas sekolah yang tidak memadai. Banyak sekolah tidak memiliki gedung permanen, laboratorium, perpustakaan, atau bahkan sanitasi dasar, dan akses internet terbatas atau tidak ada sama sekali. Hal ini menyulitkan pelaksanaan program digitalisasi pendidikan dan pembelajaran daring, terutama sejak pandemi COVID-19.
Dampak Ketimpangan
Ketimpangan akses pendidikan menyebabkan kesenjangan kualitas sumber daya manusia antardaerah. Anak-anak di wilayah 3T cenderung memiliki nilai literasi dan numerasi yang lebih rendah, seperti yang ditunjukkan dalam hasil Asesmen Nasional 2022, yang mencatat kesenjangan skor rata-rata antardaerah bisa mencapai 20 poin.
Selain itu, tingkat putus sekolah di daerah 3T masih tergolong tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2022, angka putus sekolah di jenjang SMP dan SMA di daerah tertinggal mencapai dua kali lipat dari rata-rata nasional.
Upaya Pemerintah: Sudah Cukupkah?
Berbagai program telah digagas untuk mengatasi persoalan ini, seperti: program guru penggerak dan puru penggerak daerah khusus, dana afirmasi dan dana alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan sekolah di 3T, dan program Indonesia Pintar dan digitalisasi sekolah. Namun, implementasi program tersebut seringkali terkendala oleh birokrasi, logistik, dan minimnya pengawasan di lapangan. Dalam banyak kasus, guru yang ditugaskan di daerah 3T mengundurkan diri karena kondisi sosial dan geografis yang ekstrem.Â
Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar angka, tapi komitmen nyata. Demi menjawab tantangan pendidikan di wilayah 3T, beberapa solusi konkret yang bisa dipertimbangkan adalah:
Infrastruktur yang layak sebagai syarat dasar belajar. Bangunan sekolah, listrik, dan jaringan internet harus diprioritaskan sebagai bentuk keadilan sosial.
Insentif layak dan pelatihan khusus untuk guru di daerah 3T. Bukan hanya insentif finansial, tapi juga perlindungan dan jaminan keberlanjutan karier.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!