Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negara Tak Mampu Melindungi Rakyatnya

24 September 2018   17:58 Diperbarui: 25 September 2018   08:29 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kejadian yang menimpa Haringga ramai dikomentari, rasa prihatin dan kecaman berhaburan. Tak sedikit pula yang mengutuk dan meminta agar kekerasan semacam itu diakhiri.

Itu adalah reaksi normatif. Apakah reaksi itu keluar dari perasaan yang paling dalam atau hanya sekedar menunjukkan empati. Karena peristiwa kekerasan bukan kejadian aneh di negeri ini, baik secara fisik maupun verbal.

Pelakunya kekerasan di negeri ini sangat bervariasi, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa; orang miskin maupun kaya; orang-orang tak berpendidikan atau kaum intelektual; orang kafir maupun beragama; masyarakat sipil maupun aparat; pengganggu keamanan atau petugas keamanan; rakyat maupun negara. Di mana-mana kita bisa melihat, menonton atau mendengar peristiwa kekerasan, setiap hari.

Kekerasan dapat dengan mudah dilihat, bahkan diproduksi. Siapa saja bisa melihat tanpa perlu bersusah payah. Sinetron televisi misalnya, setiap hari memperlihatkan kekerasan. 

Tidak percaya? Sekali-kali tontonlah sinetron "Anak Langit" produksi Sinemart di SCTV. Setiap episode sinetron tersebut selalu menampilkan adegan perkelahian, antaranakmuda, geng motor. Urusan kecil saja selalu diakhiri dengan perkelahian. Dalam sinetron itu kita menyaksikan tokoh-tokoh anak muda berwajah bengis, tatapannya sinis, dan kerap berbicara dengan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan.

Sinetron "Anak Langit" ditayangkan pada jam utama (primetime) saat di mana masyarakat memiliki waktu paling memungkinkan untuk menonton televisi. Karena tayang di televisi, maka anak-anak pun punya kesempatan untuk menyaksikan. Jadi anak-anak muda atau remaja bisa belajar melakukan kekerasan dari sinetron itu.

Lho bukankah ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi tayangan televisi? Juga ada Lembaga Sensor Film (LSF) yang punya wewenang untuk menyensor adegan-adegan tidak pantas yang dapat mempengaruhi / merusak mental dan moral masyarakat? Nah di situ soalnya.

Entah sihir apa yang dimiliki tayangan-tayangan televisi seperti itu, sehingga KPI tidak bisa berbuat apa-apa. KPI seperti macan ompong.

Menurut Deputi Atas Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan, Kreativitas dan Budaya Kementerian Pemberdayaan  Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA), Elvi Hendrani, di Jakarta, Kamis (23/8/2018), KPI cenderung membiarkan tayangan-tayangan yang merusak anak. Contohnya tayangan lomba menyanyi lagu dengan peserta anak-anak, tapi membawakan lagu-lagu orang dewasa.

Pemerintah sendiri menurut Elvi, tak bisa ikut campur karena Undang-undang melarang pemerintah ikut campur terhadap content media massa.

Apakah tayangan hiburan termasuk yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah? Bagaimana kalau itu berpotensi merusak moral bangsa? Elvi menunjuk KPI sebagai representasi pemerintah, walau diakuinya KPI sudah seperti macan ompong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun