Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

AFI Bersama FFI: Legalisasi Pemborosan Anggaran di Era Jokowi

4 Agustus 2016   08:22 Diperbarui: 4 Agustus 2016   10:42 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Sulut Olly Dodokambey, Mendikbud Anies Baswedan dan Sekjen Kemdikbud Didi Suhardi dalam peluncuran AFI 2016 di Jakarta, 10 Juni 2016 lalu (Foto: Herman Wijaya)

Salah satu gagasan agar penggunaan anggaran dapat dipertanggungjawabkan dalam FFI 2016 adalah mengadakan kategori penilaian untuk Film Terbaik ASEAN. Gagasan ini bukan hanya memboroskan anggaran, tetapi cenderung menginternasionalisasi FFI. FFI kok menilai film asing?

Menyelenggarakan dua festival sekaligus dalam setahun oleh satu kementerian, jelas sebuah pemborosan anggaran. Apalagi saat ini negara dalam keadaan susah. Era pemerintahan Presiden Jokowi yang terkenal cermat dan hemat dalam penggunaan anggaran, lebih memprioritaskan penggunaan anggaran untuk hal-hal yang dianggap penting, dengan adanya dua kegiatan ini jelas kebobolan!

Festival film bukan tidak penting. Tetapi kalau diadakan dua kali dalam waktu bersamaan, untuk apa? Toh insan film yang terlibat itu-itu juga, dan film yang dinilai itu-itu juga. Kalau pun ada perbedaan, tidak terlalu besar bedanya. Mengapa tidak ada satu saja festival film, seperti di masa lalu? Festival film boleh banyak, tetapi bukan pemerintah seluruhnya yang membiayai. Apalagi disaat negara dalam keadaan susah.

AFI dan FFI merupakan festival warisan lama, ketika film masih diurus oleh dua kementerian. UU No.33 tahun 2009 menyebutkan perfilman  berada di bawah Kemdikbud. Tetapi realitanya, sampai tahun 2013 perfilman masih di bawah Kemenparekraf. FFI dibiayai oleh Kemenparekraf.

Kemdikbud yang merasa berhak mengurus perfilman tidak mau kalah, lalu menggagas AFI. Itu bisa terelaisasi karena di Kemendikbud banyak karyawan eks Departemen Penerangan yang banyak mengetahui tentang perfilman dan berkecimpung di FFI.

AFI pertamakali diadakan di Medan, dengan Ketua Pelaksana Alex Komang (Ketua BPI/almarhum). Konsep AFI sendiri kabarnya digagas oleh sutradara film Labes Widar, wartawan film Hardo Sukoyo dan beberapa insan film lainnya, lalu dibawa ke Kemendikbud dan disetujui.

Sejak itu ada dua festival film berlangsung. Kemenprakref membiayai FFI dan Kemdikbud mendanai AFI. Meski pun dua-duanya pemerintah, ada aroma persaingan di dalamnya.

Presiden Jokowi lalu melakukan perubahan nomenklatur kementerian. Kemenparekraf berganti nama menjadi Kementerian Pariwisata (Kemenpar), yang lebih focus mengurus kepariwisataan. Karena sektor ini diharapkan dapat menangguk devisa. Sejak itu perfilman sepenuhnya diserahkan ke Kemdikbud.

Sebagai bentuk keseriusan pemerintah terhadap perfilman, Kemdikbud lalu membentuk Pusat Pengembangan Perfilman.

Namun di bawah Pusbang Perfilman, kebijakan perfilman juga tidak jauh berbeda dengan masa ketika perfilman di bawah Deppen – Kemenbudpar – Kemenparekraf. Berbagai program yang disusun, hanya copy/paste model program perfilman di masa lalu, seperti pengiriman film dan insan ke festival-festival film internasional, pembiayaan Hari Film Nasional dengan segala kegiatan seremonialnya, dan banyak lagi.

Satu yang terkesan memperlihatkan Pusbang Perfilman tidak memiliki otoritas dalam mengatur perfilman, adalah dalam penyelenggaraan festival film. Meski pun film sudah ditangani oleh satu kementerian, agar lebih focus dibentuk Pusbang Perfilman, tetap saja ada dua festival film diselenggarakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun